Selamat datang di BLOG kami.... Kumpulan pendidikan yang mungkin bisa membatu untuk semua.

MAKALAH TENTANG KEPEMIMPINAN WANITA DALAM ISLAM

A.    Latar Belakang

Berbicara tentang sebuah kepemimpinan, khususnya mengenai kepemimpinan Islam adalah merupakan suatu masalah yang sangat menarik untuk dikaji. Karena berawal dari adanya sebuah system kepemimpinan yang baik, maka akan dapat terwujud sebuah tatanan masyarakat yang baik pula.
Sejak 14 abad yang silam, al-Qur’an telah menghapuskan berbagai macam diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, al-Qur’an memberikan hak-hak kepada kaum perempuan sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada kaum laki-laki. Diantaranya dalam masalah kepemimpinan Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk laki-laki berdasarkan dalil-dalil syara’.
Pada zaman kemajuan sekarang ini, para wanita ikut serta mengambil bagian hampir pada semua lapangan kegiatan atau pekerjaan. Di Indonesia (terutama), ada wanita yang menjadi menteri, pimpinan perusahaan, polisi, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, pegawai Negeri dan menjadi buruh serta pembantu rumah tangga.
Para wanita telah ikut secara aktif, membangun rumah tangga masyarakat dan negara. Malahan ada yang kita lihat agak berlebihan, karena wanita lebih banyak memegang peranan dalam membayai rumah tangga. Pada sebagian daerah ada wanita yang mencari nafkah, meninggalkan kampung halaman, sedangkan suaminya tinggal mengurus anak-anak, dan sawah ladang andaikan punya. Demikianlah, hampir semua lapangan pekerjaan dimasuki juga oleh para wanita.
4
Timbul suatu pertanyaan, apakah semua kegiatan atau pekerjaan itu dikerjakan dengan ikhlas, dan karena ada dorongan dari dalam diri mereka sebagai bukti terhadap keluarga, masyarakat dan negara? Bisa saja karena sebab lain, karena keadaan yang  memaksa. Biaya hidup dalam rumah tangga tidak dapat tertanggulangi, karena pendapatan suami tidak memadai. Boleh jadi juga, karena di telinga mereka terngiang-ngiang suara persamaan hak antara pria dan wanita.
Dalam makalah berikut ini akan dibahas mengenai kepemimpinan wanita dalam pandangan islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Kepemimpinan Menurut Islam ?
2.      Apa Pengertian Wanita dalam pandangan Islam ?
3.      Apa Hukum Islam terhadap Kepemimpinan Wanita ?
C.    Tujuan
1.      Untuk Memahami  Pengertian Kepemimpinan Menurut Islam
2.      Untuk Memahami  Pengertian Wanita dalam pandangan Islam
3.      Untuk Memahami  Hukum Islam terhadap Kepemimpinan Wanita



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kepemimpinan Menurut Islam
Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya.[1][1]
Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagi setiapmanusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahiAllah untuk menjadikhalifahAllah( wakil Allah )di muka bumi. Allah berfirman dalam Al- Qur’an SuratAl- Baqarahayat30
Artinya : ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
6
Yang bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah( hamba Allah ) yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah.  Sabda Rasulullah “setiap kamu adalah pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya (responsibelitiy-nya)”.Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah tersebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan konsepsional atau potensi ( fitrah ) serta kehendak bebas untuk menggunakan dan memaksimal potensi yang dimilikinya.
Oleh sebab itu, menurut konsep islam, semua orang adalah pemimpin. Dan setiap orang harus mempertanggungjawabkan tindakanya kepada sesamanya di dunia dan kepada Tuhan kelak di akhirat.[2][2]
Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifal fil ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya hubungan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah (Allah), yaitu:
1.      Mengerjakan semua perintah Allah,
2.      Menjauhi semua larangan-Nya,
3.      Ridha (ikhlas) menerima semua hukum-hukum atau ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi amanah (Allah), juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 112

Artinya : Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia[3][3],dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu [4][4] karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu [5][5]disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.
Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertical manusia dengan Sang Pemberi (Allah) amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya.
Jika kita memperhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata. Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal  maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan (planning and decision maker), pengorganisasian (organization), kepemimpinan dan motivasi (leading and motivation), pengawasan (controlling) dan lain-lain.
Uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa, kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
Dalam Islam, kepemimpinan sering dikenal dengan perkataan khalifah yang bermakna “wakil”. Mustafa al-Maraghi, mengatakan khalifah adalah wakil Tuhan di muka bumi (khalifah fil ardli). Rasyid Ridla al-Manar, menyatakan khalifah adalah sosok manusia yang dibekali kelebihan akal, pikiran dan pengetahuan untuk mengatur. Istilah atau  perkataan khalifah ini, mulai popular digunakan setelah Rasulullah saw wafat.[6][6] Dalam istilah yang lain, kepemimpinan juga terkandung dalam pengertian “Imam”, yang berarti pemuka agama dan pemimpin spritual yang diteladani dan dilaksanakan fatwanya. Ada juga istilah “amir”, pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakat. Dikenal pula istilah “ulil amir”(jamaknya umara) yang disebutkan dalam surat An –Nisa’ayat 59 :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Yang bermakna penguasa, pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin atau tokoh masyarakat yang menjadi tumpuan umat. Dikenal pula istilah wali yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 55. Dalam hadis Nabi dikenal istilah ra’in yang juga diartikan pengelolaan dan pemimpin. Istilah-istilah tersebut,  memberi pengertian bahwa kepemimpinan adalah kegiatan menuntun, memandu dan menunjukkan jalan menuju tujuan yang diridhai Allah.[7][7]
B.     Wanita Dalam Pandangan Islam
Pada dasarnya wanita dan  laki-laki  dalam pandangan Islam didudukan secara sama dalam hukum. Uraian ini sangat jelas dalam surah An-Nisa Ayat 1:
Artinya : “Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang  telah menciptakan kamu dari seorang diri dan  daripadanya Alloh menciptakan istrinya dan daripada keduanya lahir menyebarlah banyak pria dan wanita.”
Dan juga sabda Rasulullah SAW “Semua  manusia  adalah  sama, bagaikan gigi-gigi sisir. Tidak ada tuntutan kemuliaan seorang  Arab atas seorang ‘Ajam (bukan Arab), atau seorang  kulit putih  atas  kulit hitam atau seorang  pria  atas seorang wanita, Hanya  ketaqwaan seseorang  yang menjadi pilihan Alloh.”
Akan  tetapi  dalam perspektif yang  lain  wanita didudukan sebagai obyek yang harus  dipimpin  laki-laki, Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa  34
Artinya : “Kaum lelaki itu adalah sebagai pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita.”.
Pada ayat diatas bukan berarti  wanita tak mendapat kedudukan yang layak. Wanita dalam  batasan  tertentu  malah  menjadi  sebuah   tonggak negara, dengan peran sertanya dalam mendidik keturunannya.[8][8]
Wanita juga menempati diri sebagai sang pengayom bagi siapa saja,sehingga dapat  memberikan  ketenangan dan kebahagiaan.  Ungkapan  ini sangat  populer  lewat sebuah hadits yang mengatakan, "surga di bawah telapak kaki ibu"
 Dalam  sistem  Islam, wanita  ditempatkan  dalam  3 kategori besar[9][9]:
1.      Wanita sebagai Anggota Umat Beriman :
Wanita   sebagai  bagian  tak  terpisahkan  dari   umat mendapat perlakuan yang sma persis dengan  laki-laki. Baik dalam urusan ibadah dan Muamallah, tiada kelebihan laki-laki atas wanita. Dengan demikian wanita mempunyai hak yang sama dalam usaha melakukan perbaikan (ishlah) dalam masyarakat. Dengan peranannya tersebut  wanita menjadi sangat mempunyai arti  penting dalam dimensi spiritual.  Di samping dalam  lingkup spiritual, wanita juga mempunyai peran penting  dalam hal pendidikan anak.
2.      Wanita Sebagai Anggota Keluarga
Kedudukan wanita di keluarga dal.am Islam ditempatkan  sebagai tempat terhormat. Bahkan wanita di rumah tangganya menjadi pilar utama yang akan menopang keberlangsungan keluarga. Kehormatan wanita ini tercermin  dalam  ungkapan hadits :  Seseorang  bertanya kepada  Nabi, pekerjaan apakah yang sangat disenangi Tuhan. Ia  berkata: “ menunaikan shalat  tepat   pada waktunya.” Orang itu melanjutkan : kemudian apa? Nabi bersabda : “ bersikap  murahlah kepada  ayah  dan  ibumu.” Bahkan  dalam  ungkapan hadits yang lain,  yang paling dihormati  di dalam keluarga adalah Ibu, baru  kemudian ayah. Dialah  pendidik dan penanam utama syariat sedari dini kepada  anggota keluarga yang lain. Lebih dari itu, seorang wanita akan menjadi peletak kepemimpinan dan syura dalam keluarga. Dari   sinilah   arti  penting  wanita dalam   proses pendidikan dan sosialisasi dalam keluarga.
3.      Wanita Sebagai Anggota Dalam Masyarakat
Peranan  wanita dalam masyarakat  tidak  terpisahkan dari  keluarga. Perubahan sosial di  masyarakat  tidak akan berlangsung  jika  tidak  terdapat gerakan  dari keluarga. Keterlibatan wanita dalam masyarakat  menurut Darleney May adalah; sebagai agen intelektual,  sebagai agen  ketrampilan masyarakat, sebagai agen  di  bidang politik,  sebagai agen di bidang militer, sebagai  agen di bidang hukum dan di bidang ekonomi.
C.    Hukum Islam Terhadap Kepemimpinan Wanita
Islam tidak melihat adanya penghalang untuk menjadikan wanita sebagai pimpinan untuk urusan urusan yang bersifat khusus, yang memangsesuai dengan tabiat dan kekhususan-kekhususan fitrahnya, yang di situ tidak menuntut tanggung jawab dan peranan yang mempunyai resiko demi kemaslahatan umat dan Negara.[10][10]
Walaupun demikian kepemimpinan  wanita  merupakan  persoalan pelik yang  sampai  saat ini  terus  menjadi   perbincangan. Lingkup perbincangan  tersebut  bermula  dari tatanan syari'ah[11][11]yang didasarkan kepada perkataan Rasulullah SAW :
لن يفلح قوم ولواامرأة
Artinya : “bahwa tidak akan beruntung suatu kaum jika kepemimpinan diserahkan kepada wanita.” (HR Bukhari)
Interprestasi  akan Hadits sebagai  sumber  kedua setelah Quran biasanya diletakkan  kepada  persoalan Sanad dan Perawinya. Artinya apakah secara matan  (isi) suatu hadits tersebut bertentangan atau  tidak  dengan Qur'an, atau dapat difahami dengan logika Islam sebagai agama  yang fitrah atau tidak. Kemudian  interprestasi yang  lain  adalah berdasarkan kekuatan  sanad ataupun pembawanya.  Dengan menggunakan  kekuatan  sanad  akan melahirkan  jenis hadist dari  tingkat  Shahih  sampai dloif, mursal bahkan palsu.  
1.      Berbagai Pendapat tentang Kepemimpinan wanita menurut hadits diatas.
a.    Menurut pendapat Yusuf Qardhawy , hadits ini adalah Shahih, sebab periwayatannya  dari Abu  Bakrah  yang  kemudian dikutip  Bukhari. Sedangkan hadits  yang  diriwayatkan oleh Bukhari  termasuk  ke dalam hadist yang  shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan, ada  yang difahami secara kontekstual. Pemahaman secara tekstual akan menyimpulkan bahwa haram hukum  wanita menjadi kepala  pemerintahan.  Sedangkan pemahaman secara kontekstual, bahwa  hadits  tersebut berkaitan  dengan diangkatnya  seorang wanita  Persia menjadi  pemimpin meski disekitarnya  terdapat  banyak calon pemimpin  yang memadai,  hanya  karena   hukum kerajaan menghendaki demikian.
b.    Mayoritas ulama ushul melihat bahwa  pertimbangan dengan kaidah keumuman lafazh lebih mengedepan bukan pada  kekhususan sebab  Meski demikian Ibnu Abbas dan Ibnu  Umar  tidak semata-semata  itu, hal ini setidaknya  melihat  dampak dari pemahaman yang demikian dapat menimbulkan kelompok-kelompok seperti  Khawarij  yang   berlebihan dalam agama. Golongan Khawarij dalam menafisrkan ayat maupun  hadits secara tekstual, sehingga menjadikan agama sangat  berat, bahkan sampai mengkafirkan perbedaan pendapat.[12][12]
c.    Jumhur  ulamasepakat  akan   haramnya   wanita memegang  kekuasan dalam al-wilayatul - kubra  atau  al-imamatul - uzhma (pemimpin  tertinggi ) .    Dimana wanita berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam pemerintahan. Sebab dalam  matan   hadits   tersebut terdapat lafadz  " Wallu Amrahum " (Yang Memerintah  Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam  sistem politik Islam.  Sekalipun teks hadis ini berupa khabar atau kalimat berita, namun mengandung celaan ( ذم ) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkankekuasaan pemerintahanya kepada seorangwanita berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan qorinah (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat jazm (pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara pasti hukumnya adalah haram. Ulama  klasik memandang   perlu untuk mengetengahkan hawa hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita. Ini diungkapkanbaik oleh  Al-Ghazali, Al-Mawardi,Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun.[13][13]
Selain hadis di atas jumhur ulama juga memakai dalil dari firman Allah dalam Q.S. Annisa’ ayat 59 yang bunyinya :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul-nya dan ulil amri di antara kamu”
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz ulil amri. Berdasarkan kaidah bahasa arab maka akan difahami bahwa perintah untuk taat kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah pemimpin laki-laki. Sebab apabila pemimpin wanita maka seharusnya menggunakan lafadz Uulatul amri.
Perlu  untuk diketahui diantara perkara yang hukumnya dijelaskan oleh syariah islam adalah mengenai syarat-syarat kepala Negara. Syaikh Taqyuddin An-Nabhani Dan Abdul Qdim Zallum Dalam kitab Nizhamul Hukm fi islam, menulis bahwa ada tujuh syarat in’iqad (syarat mutlak) yang harus dipenuhi oleh seorang calon khalifah sebagai kepala negara kaum Muslimin, yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu.[14][14] Ketujuh syarat itu ditetapkan sebagai syarat mutlak calon khalifah lantaran memiliki dalil-dalil yang menunjukan kepastian hokum dari nash-nash syara’.
Mengenai syarat laki-laki, Imam Al Qalqasyandi dalam kitab Maatsirul inafah juz 1/31 mengatakan bahwa syarat sahnya aqad khilafah menurut para fuqoha madzhab syafi’i, yang pertama adalah laki-laki. Tidak terjadi aqad manakala diberikan kepada seorang perempuan.[15][15]
Inilah tinjauan syara’ terhadap kepemimpinan wanita, yang secara tegas islam mengharamkan wanita untuk menjadi waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan) baik ditingkat kepala Negara maupun perangkat-perangkatnya.

d.      Menurut Gamal A.Badawi, batasan yang diberikan oleh hadist “tidak akan beruntung suatu kaum jika kepemimpinan diserahkan kepada wanita”, tidak terlalu berpengaruh terhadap takdir perempuan ataupun hak-haknya, melainkan dengan berkaitan perbedaan natural dalam pembentukan biologis dan psikologis laki-laki dan perempuan.[16][16] Lebih lanjut beliau menjelaskan pula bahwa menurut islam, kepala Negara semata-mata tidak sebagai figur. Dia menuntun orang untuk shalat, terutama pada hari jumat dan hari-hari suci menurut islam, dia senantiasa dalam proses pembuatan keputusan yang bertalian dengan keamanan dan ketentraman rakyat-rakyatnya.
e.       Kemudian Imam Thabari mempertegas bahwa walaupun kita menggunakan hadist tadi sebagai dasar hokum, tetapi hanya menyangkut satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang pucuk pimpinan tertinggi Negara, perempuan tidak bisa menjadi khalifah, tetapi selain itu bisa.[17][17]
Menurut yusuf qardhawy, dalam  batas kepemimpinan  dalam  satu bidang tertentu, yang  tidak menyeluruh dalam masyarakat, wanita berhak mendapatkan itu, seperti dalam kejaksaan, pendidikan bahkan menjadi menteri.[18][18]
Meski demikian perkembangan  pemikiran  tentang kepemimpinan merupakan hak setiap insan. Pandangan kaum modernis terutama yang diwakili oleh kalangan feminis. Fatimah  Mernisi seorang feminis muslim  asal  Aljazair bahkan  secara radikal menyerang pemahaman  ulama  yang telah membuat fiqh yang diskriminasi kepada  perempuan.
Demikiankah beberapa pendapat yang masih terus berkembang tentang posisi wanita sebagai pemimpin atau sebagai kepala Negara.

2.      Pendapat Empat Imam Madzab  tentang Kepemimpinan Wanita.
a.  Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
b.  Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).[19][19]
Dengan mempertimbangkan pemahaman normativitas para ulama klasik dan sebagian modern, kenyataan historisitas munculnya sultanah-sulatanah Islam dalam sejarah, kemudian kondisi fisik dan psikis kaum wanita di atas, maka seorang wanita bisa menjadi pemimpin dalam berbagai sektornya. Dalam hal ia menjadi kepala Negara, maka dibolehkan dalam konteks simbolik untuk mempersatukan elemen bangsa. Kepemimpinan wanita dapat dibenarkan asalkan saja tidak melupakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri, karena tugas tersebut tidak dapat digantikan suami maupun pembantu.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
Pada dasarnya wanita dan  laki-laki  dalam pandangan Islam didudukan secara sama dalam hukum. Uraian ini sangat jelas dalam surah An-Nisa yang Artinya : “Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang  telah menciptakan kamu dari seorang diri dan  daripadanya Alloh menciptakan istrinya dan daripada keduanya lahir menyebarlah banyak pria dan wanita.”
Dan juga sabda Rasulullah SAW “Semua  manusia  adalah  sama, bagaikan gigi-gigi sisir. Tidak ada tuntutan kemuliaan seorang  Arab atas seorang ‘Ajam (bukan Arab), atau seorang  kulit putih  atas  kulit hitam atau seorang pria atas seorang wanita, Hanya  ketaqwaan seseorang  yang menjadi pilihan Alloh.”
Jumhur  ulamasepakat  akan   haramnya   wanita memegang  kekuasan dalam al-wilayatul-kubra  atau  al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi). Dimana wanita berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam pemerintahan. Sebab dalam  matan   hadits   tersebut terdapat lafadz  "Wallu Amrahum" (Yang Memerintah  Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam  sistem politik Islam.
Kemudian Imam Thabari mempertegas bahwa walaupun kita menggunakan hadist tadi sebagai dasar hukum, tetapi hanya menyangkut satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang pucuk pimpinan tertinggi Negara, perempuan tidak bisa menjadi khalifah, tetapi selain itu bisa.
Menurut yusuf qardhawy, dalam  batas kepemimpinan  dalam  satu bidang tertentu, yang  tidak menyeluruh dalam masyarakat, wanita berhak mendapatkan itu, seperti dalam kejaksaan, pendidikan bahkan menjadi menteri.
17
Demikiankah beberapa pendapat yang masih terus berkembang tentang posisi wanita sebagai pemimpin atau sebagai kepala Negara.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.  
DAFTAR PUSTAKA
Fakih Ainur Rohim, dk. 2001. Kepemimpinan Islam.Yogyakarta.: UII Press
Muhammad bin Abdullah Sulaiman Arafah.1994. Hak Dan Peran Aktif Wanita Muslimah. Solo: Hazanah Ilmu cet 1.
      Nata Abuddin. 2003.Masail Al Fiqhiyah. Jakarta. Prenada Media.
Zahrah Abu Muhammad, 1996, Aliran Politik dan  Aqidah Dalam Islam. Jakarta : Logos
Tinjauan Syariah Tentang Presiden Wanita. www.angelfire.com
Haramnya Presiden Wanita Bukan Khilafiyah, Buletin Assalam, www.isnet.org



[20][1]Aunur Rohim Fakih, dk., 2001, Kepemimpinan Islam, hal 2

[21][2]H. Abuddin Nata. Masail Al Fiqhiyah. hal 124
[22][3]Maksudnya: perlindungan yang ditetapkan Allah dalam Al Quran dan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Islam atas mereka.

4Yakni: ditimpa kehinaan, kerendahan, dan kemurkaan dari Allah.
[23][5]Yakni: kekafiran dan pembunuhan atas Para nabi-nabi.
[24][6]H. Abuddin Nata. Masail Al Fiqhiyah. hal 124
[25][7]Aunur Rohim Fakih, dk., 2001, Kepemimpinan Islam, hal 4-5
[26][8]Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik pandangan Islam.http://rumaysho.com
[27][9]Muhammad bin Abdullah Sulaiman Arafah.Hak Dan Peran Aktif Wanita Muslimah. hal 220
[28][10]Ibid ,..
[29][11]Tinjauan Syariah Tentang Presiden Wanita. www.angelfire.com
[30][12]Abu Zahrah Muhammad, Aliran Politik dan  Aqidah Dalam Islam, hal 26
[31][13]Muhammad Azhar,  Filsafat  Politik: Perbandingan   Islam  dan  Barat, hal 76
[32][14]Haramnya Presiden Wanita Bukan Khilafiyah, Buletin Assalam, www.isnet.org.
[33][15]Ibid,..
[34][16]Tinjauan Syariah Tentang Presiden Wanita. www.angelfire.com
[35][17]Ibid,...
[36][18]Muhammad bin Abdullah Sulaiman Arafah.Hak Dan Peran Aktif Wanita Muslimah. hal 230
[37][19]Kepemimpinan Wanita Menurut Pandangan Islam,









































Related : MAKALAH TENTANG KEPEMIMPINAN WANITA DALAM ISLAM

0 Komentar untuk "MAKALAH TENTANG KEPEMIMPINAN WANITA DALAM ISLAM"

loading...