Selamat datang di BLOG kami.... Kumpulan pendidikan yang mungkin bisa membatu untuk semua.

MAKALAH TENTANG DIKOTOMI DAN DUALISME PENDIDIKAN


MAKALAH DIKOTOMI DAN DUALISME PENDIDIKANI. PENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah


    Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Pendidikan menjadi penting artinya karena melalui pendidikanlah yang menentukan arah kehidupan melalui proses pembelajaran antar generasi. Melaui proses sosialisasi, enkulturasi di dalam institusi primer yaitu dalam keluarga. Dari situlah proses pewarisan unsur budaya dalam hal ini adalah pembelajaran dilakukan pertamakali. Di dalam literature ilmu sosial disebutkan bahwa kebudayaan didefinisikan sebagai suatu keseluruhan sistem ide, sistem sosial, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia melalui proses belajar. Ini berarti kunci pokok dari kehidupan manusia itu terletak dari adanya proses belajar.
     Sedemikian pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu menjadi ranah selalu hangat untuk diperbincangkan.Hal yang menarik lagi dalam diskursus mengenai tema besar ini adalah pijakan akar budaya dan historisitas dari perkembangan pendidikan di Indonesia.Suatu kondisi yang tidak boleh tidak ada seandainya kita mau meneliti tentang perkembangan pendidikan di negeri kita ini adalah faktor kesejarahan.Bagaimanapun juga sejarah warisan kolonial Belanda turut membentuk wajah pendidikan Indonesia.
Kalau kita perhatikan, dari jaman kolonial sampai sekarang ada tendensi yang mengarah pada pola akibat bentukan budaya yang mengakar kuat.Fenomena pembagian menjadi dua bagian antara negeri dan swasta, umum dan agama, sentralistik dan desentralisasi, menejemen berbasis sekolahan dan menejemen berbasis pusat, kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis pengetahuan, kesemuanya itu lebih kita tempatkan sebagai fakta sejarah.
Fonemena dulaisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relative baru (kira-kira awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah).Dulaisme lembaga pendidikan sekarang ini ada yang disebut sekolah umum dan ada diistilahkan sekolah agama, dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya seorang profesor kimia, misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan ,saya ini orang awam untuk urusan agama.
   Pendidikan agama di sekolah menurut Zakiah Darajat sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik karena mempunyai aspek jiwa atau pembentukan kepribadian dengan memberikan kesadaran dan pembiasaan melakukan perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-laranganNya, melakukan praktek ibadah, sopan santuan dalam pergaulan sesamanya sesuai dengan ajaran akhlak agamanya akan menjadi bagian integral dari kepribadiannya ketika dewasa nanti dan aspek-aspek pendidikan agama yang ditujukan kepada pikiran dan kepercayaan.
    Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia sudah tidak bisa dinafikan lagi, akan tetapi kenapa pada faktanya pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan baik dari sisi output pendidikan yang masih rendah bila dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti Vietnam. Begitupula tentang kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban narkoba semakin meningkat dari tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang sudah mengakar di negeri ini. Kondisi ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut paling tidak ada peningkatan kualitas pendidikan dan penyelewengan pendidikan dapat diminimalisir.
    Sebagai permasalahan pendidikan yang dialami Indonesia berdasarkan hasil penelitian lembaga-lembaga indefendent ataupun pemerintah yang berkaiatan dengan dunia pendidikan diantaranya sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam.
2. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak.
3. Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% .
4. Menurut hasil survey UNDP (2002), kualitas SDM Indonesia ternyata hanya menduduki urutan 110 dari 179 negara di dunia , posisi Indonesia hanya satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh tertinggal di bawah Philipina , Thailand , Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan India, Indonesia sangat jauh tertinggal.
5. 90% anak usia 8-16 tahun telah buka situs porno di internet. Rata-rata anak usia 11 tahun membuka situs porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak diantara mereka yang membuka situs porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah. 
    Itulah beberapa permasalahan pendidikan yang krusial di Indonesia yang membutuhkan segera penyelesaian secara sistematis, terencana dan terpola dengan baik. Jika tidak pendidikan kita mau dibawa ke mana dan bagaimana generasi yang dihasilkan di masa depan?

B. Identifikasi Masalah


    Permasalahan pendidikan di Indonesuia apabila berkaca dari beberapa permasalahan tersebut di atas dapatlah diidentifikasi sebagai berikut:
1. Sistem pengelolaan pendidikan di Indonesia yang dinaungi oleh dua Departemen ( dahulu ) dan sekarang disebut kementerian yaitu Kementerian Pendidikan Nasional yang menangani pendidikan umum dan Kementerian Agama yang menaungi pendidikan agama dan keagamaan menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif dalam tataran praktis.
2. Pemisahan dalam tataran konsep dan paradigma pendidikan di Indonesia menimbulkan dampak terjadinya dikotomi dan dualisme pendidikan.
3. Dikotomi dan dualisme dalam pendidikan membentuk sistem pengkotak-kotakan dalam pendidikan di Indonesia baik antara pendidikan umum dengan pendidikan agama, negeri dan swasta, sentralisasi dan desentralisasi.
4. Terjadinya dikotomi dan dualisme dalam pendidikan agama di Indonsia menimbulkan permasalahan jurang pemisah antara pendidikan yang di bawah naungan Kementerian Pendidikan dengan pendidikan yang di bawah Kementerian Agama baik dari sisi sarana prasarana, sumber daya manusianya, maupun ketenagaannya.
5. Pendidikan agama Islam sebagai salah satu tonggak penanaman pendidikan moral hanya sebagai mata pelajaran baik di sekolah maupun di madrasah masih termarjinalkan dari mata pelajaran lainnya.


C. Batasan Masalah


    Dengan luasnya permasalahan yang diidentifikasi dari beberapa yang berhubungan dengan dikotomi dan dualisme pendidikan di Indonesia, maka pemakalah akan membatasi masalah dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia yang berkaiatan dengan pendidikan agama Islam.


D. Rumusan Masalah


    Melalui makalah ini dapatlah dirumuskan mengapa pendidikan agama Islam di Indonesia masih terjadi dikotomi dan dualisme?


E. Metode Kajian



    Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah pendekatan deskriptif-historis. Saya berusaha mengungkapkannya, menggambarkan permasalahan yang saya angkat. Dalam tugas saya ini ada banyak tema besar yang secara eksplisit dipaparkan yang saya kategorikan sebagai permasalahan yang pertama yaitu dikotomi pendidikan , kedua dulaisme pendidikan di Indonesia, dampak akibat dikotomi dan dualisme pendidikan serta bagaimana solusi yang ditawarkan pakar pendidikan Islam. 

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Dikotomi dan dulaisme pendidikan1. Pengertian Dikotomi

    Dikotomi dalam bahasa Inggris adalah dichotomy adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan.Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality). Bagi al- Faruqi, dikotomi adalah dulaisme religius dan kultural.
    Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga bisa muncul sekarang ini. Proses sejarah tersebut diawali perkembangan pertemuan Islam-Arab dengan budaya lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam serta diakhiri dengan pertentangan dua cara berpikir yang cukup berpengaruh dalam pembentukan dikotomi ilmu dalam sejarah peradaban Islam.
Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah dulaisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-masing. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh).

2. Pengertian Dualisme

    Perkataan “dualisme” adalah gabungan dua perkataan dalam bahasa latin yaitu “dualis” atau “duo” dan “ismus” atau “isme”. “Duo” memberi arti kata dua. Sedangkan “ismus” berfungsi membentuk kata nama bagi satu kata kerja. Dualisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan.Secara terminologi dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan. Oleh karena itu, dulaisme ialah keadaan yang menjadi dua, dan ia adalah satu sistem atau teori yang berdasarkan kepada dua prinsip yang menyatakan bahwa ada dua substansi.
    Asal dualisme ini pada hakikatnya merupakan doktrin filsafat dan metafisika yang lahir dari alam pikiran para filosof Barat dalam melihat entitas jiwa dan raga manusia. Asal usul konsep dualisme terkandung dalam pandangan hidup tentang alam (world view), serta nilai-nilai yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Gagasan tentang dualisme sebenarnya dapat ditelusuri sejak zaman Plato dan Aristoteles yang memiliki pandangan berhubungan dengan eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan.Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa “kecerdasan” seseorang merupakan bagian dari pikiran atau jiwa yang tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.Jadi dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, fenomena mental adalah entitas non-fisik dan raga adalah fisik.Oleh karena itu, faham dualisme ini melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain.
     Dualisme yang dikenal secara umum sampai hari ini diterapkan oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik.Descartes adalah yang pertama kali memodifikasi dualisme dan mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Baginya yang riil itu adalah akal sebagai substansi yang berfikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extendedsubstance). Dengan demikian memang secara ideologis diciptakan adanya dualisme pendidikan, yaitu sekolah umum yang memperoleh sokongan pemerintah dan menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional dan madrasah, pondok pesantren, sekolah yang kurang mendapat perhatian dan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.


B. Pandangan Islam mengenai dikotomi dan dulaisme pendidikan

    Ilmu sebagai dasar pijakan dalam terjadinya dikotomi dan dualisme dalam pendidikan dapat kita kaji dan analisa dari Al-Quran dan Al Hadits, sebagaimana diungkap Quraish Shihab. kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Quran dan 750 ayat al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya. Hal ini mengisyaratkan agar manusia mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Objek Ilmu dalam Islam terbagi kepada dua bagian besar yaitu objek materi dan objek non-materi. Seperti kaum sufi melalui ayat-ayat al-Quran memperkenalkan ilmu-ilmu yang merela sebut al-hadlarat al-Ilahiyah al-Khams ( lima kehadiran ilahi) sebagai gambaran keseluruhan realitas wujud, yaitu alam nasut ( alam materi), alam malakut ( alam kejiwaan), alam jabarut ( alam ruh), alam lahut (sifat-sifat ilahiyah, dan alam hahut ( wujud zat ilahi).
  Selain itu banyak ayat al-Quran yang memerintahkan untuk berfikir tentang alam semesta, melakukan perjalanan dengan titik tolak dan tujuan akhir karena Allah, seperti dalam Surat Al-‘Alaq sebagai surat yang pertama kali diturunkan diawali dengan kalimat Iqra dan diakhiri dengan kalimat “wasjud waqtarib” ini merupakan indikator bahwa ilmu dalam Islam tidak dikenal Ilmu hanya untuk ilmu dan tidak dibenarkan dalam Islam. Sementara sekarang ini berkembang ilmu itu bebas nilai.
Ulama-ulama kita dulu, tidak pernah membedakan ilmu umum dan ilmu agama, semuanya penting, hanya menurut Muhamad Abduh, misalnya, harus ada skala prioritas dimana ilmu agama perlu diajarkan pertama kali karena berkaitan dengan kebutuhan dasar sebagai orang beragama, dia harus tahu hakikat agamanya, supaya punya identitas, sistem moral yang kuat dan visi yang jelas.
   Bukti bahwa ulama dulu tak pernah menganaktirikan disiplin ilmu tertentu dapat dilihat dari otoritas keilmuan yang dikuasai ulama-ulama terdahulu. Ini mengindikasikan Islam sangatlah menjunjung tinggi keutamaan ilmudari aspek keutuhan ilmu para tokoh muslim, ulama terdahulu juga telah membuktikan kesatuan ilmu yang wajib dipelajari. Al-Kindi misalnya merupakan seorang filsuf sekaligus agamawan, begitu pula al-Farabi. Ibn Sina, selain ahli dalam bidang kedokteran, filsafat, psikologi, dan musik, beliau juga seorang ulama. Al-Khawarizimi adalah ulama yang ahli matematika, al-Ghazali, walaupun belakangan popular karena kehidupan dan ajaran sufistiknya, sebenarnya beliau telah melalui berbagai bidang ilmu yang diketahuinya, mulai dari ilmu fiqh, kalam, falsafah, hingga tasawuf.Begitu pula Ibn Rusyd, seorang faqih yang mampu menghasilkan karya magnum opus-nya Bidayat Al-Mujtahid, yang mampu mengsinergikan filsafat dan ilmu fiqh.Ibn Khaldun dikenal sebagai ulama peletak dasar sosiologi modern dalam magnum opus-nya Al-Mukaddimah, yang sampai sekarang banyak ahli yang mengkajinya baik dari dari kalangan ummat Islam maupun para orientalisme.
   Jadi bisa dikatakan ternyata orang dulu hampir tidak mengenal istilah dikotomi ilmu.Karena bagi mereka semua aliran ilmu itu berada dalam satu atap bangunan pemikiran dan bersumber dari Allah, Dzat yang Maha Esa.Tidak ada ilmu yang berdiri sendiri.Semuanya saling terkait, saling melengkapi.Itu mungkin rahasia kenapa orang dulu bisa menghasilkan karya berbobot dan bertahan di pasaran dalam jangka waktu sangat lama, mereka punya otoritas keilmuan interdisipliner.
Konsep dikotomi ilmu masuk bersamaan dengan diterapkannya metode dulaisme keilmuan agama non agama (ilmi vs adabi).Proyek itu digalakan oleh Muhamad Ali Fasya, saat memimpin Mesir.Tepatnya pasca dijajah Perancis,niatnya baik sebetulnya. Ia ingin memajukan umat Islam melalui sains dan teknologi, tapi cara yang ditempuh tidak tepat karena menghasilkan dulaisme keilmuan yang sangat berbahaya.
   Menurut H.M. Arifin, Al-Quran sebagai sumber pedoman bagi umat Islam mengandung nilai-nilai yang membudayakan manusia hampir dua pertiga ayat-ayat Al-Quran mengandung motivasi kependidikan bagi umat manusia. Allah Yang Maha Kuasa secara langsung menjadikan manusia baik atau jahat, pandai atau bodoh, bahagia atau celaka, sehat atau sakit, merupakan suatu sistem berbagai proses yang pada dasarnya sebagai mekanisme sebab akibat.
   Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat menunjukkan betapa penting antara keduanya dan saling berkaitan satu sama lain, maka dalam disiplin ilmu pun tidak harus membedakan ini ilmu duniawi dan yang lain ukhrawi. Seperti beberapa ayat berikut yang mengarahkan keseimbangan dalam pendidikan:
   Artinya: “ Dan carila apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
“ … Dan apabila dikatakan , “berdirilah kamu”maka berdirilah niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah [58]: 11).
   Dikotomi ilmu adalah konsep yang sama sekali tidak dikenal dalam tradisi keilmuan salaf. Banyaknya ulama yang punya otoritas keilmuan lebih dari satu bidang adalah bukti kuat ulama kita tidak mengenal konsep dikotomi ilmu. Apa yang diistilahkan orang-orang sekarang sebagai ilmu agama (ilmu-ilmu Islam- Teologi, Tafsir, Hadis,Fikih, dll) dan ilmu-ilmu umum (ilmu sekuler), dalam pandangan Islam, pada batas tertentu, wajib dikuasai semuanya. Hanya istilahnya dibedakan, kalau mempelajari ilmu agama (dasar-dasarnya) itu fardu ’ain.Artinya wajib bagi setiap manusia Islam mempelajarinya.Sementara mempelajari ilmu-ilmu umum adalah fardu kifayah.Artinya kalau secarafungsional sudah tercukupi kebutuhannya maka gugur kewajiban bagi yang belum mempelajarinya.Artinya terminologi dalam ranah keilmuan Islam sangat luas cakupannya menyangkut hal yangbisa diverifikasi dan hal-hal yang bersifat metafisik. Maka menerjemahkan kalimat ‘ilmu dalam bahasa Arab dengan science (Inggris) menurut saya tidak tepat. Karena istilah science sangat positivistik hanya mendasarkan kebenaran pada realitas empiris belaka.
   Secara normative-konseptual, menurut Abdul Rahman Al Segaf, dalam Islam tidak dijumpai dikotomi ilmu. Jika kita menoleh pegangan Islam yakni Al-Quran maupun Hadits kita tidak menemukan baik secara tersirat terlebih lagi tersurat menemukan dalil  mengenai dikotomi ilmu. Justru sebaliknya Islam mengajarkan untuk menuntut semua cabang ilmu.
    Sedangkan menurut Ramayulis, dalam pendidikan Islam tidak dikenal pemisahan antara sains dan agama.Penyatuan keduanya merupakan tuntutan akidah Islam.Allah dalam doktrin ajaran Islam adalah pencipta alam semesta termasuk manusia, dan menurunkan hokum-hukum untuk mengelola dan melestarikannya. Hukum mengenai alam fisik merupakan sunnah Allah, sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia dinamakan din Allah. Hal ini mengimplikasikan bahwa dalam pendidikan tidak dibenarkan adanya dikotomi pendidikan agama dengan pendidikan sains. Peserta didik harus memahami Islam sebagi a total way of life, minimal seorang pendidik harus dapat melakukan perubahan orientasi mengenal konsep ilmu yang secara langsung dikaitkan dengan dalil-dalil keagamaan atau sebaliknya.
     Memandang berbagai hal dampak dan implikasi negatif dari dikotomi ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan ilmu-ilmu umum (general sciences), maka sudah waktunya bagi kaum Muslimkhususnya lembaga-lembaga Islamuntuk melakukan “reintegrasi ilmu-ilmu”. Sehingga yang dibutuhkan sekarang adalah cara memandang kita selama ini yang masih mengkotak-kotakkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum haruslah direvolusi. Ilmu-ilmu dipandang sebagai satu kesatuan, yang setara hierarkinya, yang dari perspektif Islam, sama-sama mendapat pahala jika menuntut dan menekuninya.
   Walau Islam mengajarkan integralisme keilmuan menurut Azyumardi Azra ia menyebutnya tawhidic paradigm of sciencespada tingkat konseptual, tetapi harus diakui bahwa pada tingkat praksis tidak jarang terjadi disharmonisasi, dan dikotomi di antara keduanya, seperti dikemukakan penjelasan di atas. Bahkan dikotomi sering menjangkau epistemologis, yakni antara wahyu dengan akal, atau antara “ilmu-ilmu agama” dengan “ilmu-ilmu umum”. Sebab itu, guna mengatasi disharmonisasi dikotomi tersebut para pemikir dan ilmuwan Muslim menawarkan klasifikasi ilmu lengkap dengan hierarki mereka masing-masing.
    Sebagaimana dikemukakan oleh Nasr yang dikutip oleh Azyumardi Azra, berbagai cabang ilmu dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan dipandang dari persepektif Islam pada akhirnya adalah satu. Dalam Islam sendiri sebenarnya tidak ada pemisahan yang sangat esensial antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum”. Hal ini dapat kita lihat misalnya banyak intelektual muslim sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn sina, sampai Al-Ghazali, Nashir Al-Din Al-Thusi, dan Mulla Shadra dalam berbagai disiplin ilmunya dan perspektif inteklektualnya masing-masing yang dikembangkan dalam kemajuan Islam memang mengandung hieraraki tertentu, tetapi pada akhirnya akan bermuara pada pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha Tunggal” yang merupakan subtansi dari segenap ilmu. Hal ini pula terbukti dan menjadi alasan kenapa para pemikir dan ilmuwan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim kedalam hierarki ilmu pengetahuan Islam. Kita lihat misalnya salah seorang murid Imam Malik, asy-Syafi’I (150-204 H), menyusun satu metodologi hukum yang selain bisa mempertemukan kedua kubu. Sehingga pertentangan kedua kubu, yang melahirkan ekspresi kebebasan berpikir, bisa diredam sedini mungkin. Kita akan lihat sejauh mana asy_Syafi’I merumuskan dasar-dasar berpikir tersebut, yang oleh Fakhr ad-Din ar-Razi dibandingkan dengna posisi Aristoteles dalam bidang filsafat. Kalau Aristoteles berhasil merumuskan satu sistem filsafat dengan metodologi mantiqnya (logika), demikian asy-Syafi’I dianggap merumuskan cara-cara berpikir dalam agama dengan metodologi ushul fiqhnya seperti tertuang dalam master piece-nya ,ar-Risalah. Artinya ini menandakan dalam pembentuan dasar-dasar hukum Islam (ushul fiqh) sangat menyentuh tradisi filsafat.
   Selain asy-Syafi’I kita kenal nama dalam kancah pemikiran Islam Al-Kindi merupakan pemikir Muslim pertama yang berusaha memecahkan masalah klasifikasi. Klasifikasi pertama adalah al-ulum al-aqliyyah, yakni ilmu-ilmu yang disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi melibatkan pengguanaan akal dan nalar.Klasifikasi kedua adalah al-ulum al-aqliyyah, yakni ilmu-ilmu intelek, yang diperoleh terutama penggunaan akal dan pengalaman pengujian empiris.Dalam karyanya Fi Aqsam Al-Ulum (jenis-jenis Ilmu). Ia disusul oleh Al-Farabi, yang melalui karyanya Kitab Al-Ulum (Buku tentang Hierarki ilmu) memainkan pengaruh lebih luas. Tokoh-tokoh lain yang mampu dalam mengintegrasikan ilmu adalah Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Rusyd yang semuanya mampu menjadi rujukan-rujukan keilmuannya sampai didunia Barat.
   Nah bagaimana dengan klasifikasi ilmu-ilmu yang demikian rumit ?Hal ini menunjukkan kompleksitas ilmu-ilmu yang berkembang dalam tradisi keilmuan dan perdaban Islam.Ilmu-ilmu agama hanyalah satu bagian dari ilmu-ilmu Islam secara keseluruhan.Pada tingkat praksisi bisa dikatakan, kemajuan peradaban kaum muslimin berkaitan dengan kemajuan seluruh aspekdan bidang-bidang keilmuan. Jadi, tatkala bidang-bidang ilmu tertentu dimakruhkan, apalagi diharamkan, maka akan terciptalah disharmoni, diskrepansi yang mengakibatkan retardasi muslim secara keseluruhan.
    Menurut Ahmad Tafsir, penamaan ilmu-ilmu yang berdasarkan al-Quran dan al-hadits kedalam kategori religius tidaklah dapat diterima, karena akan mengakibatkan subjek-subjek selainnya seperti psikologi, sejarah dan sebagainya menjadi tidak religius, padahal al-Qur`an tidak mengkontradiksikan cabang-cabang atau subjek-subjek pengetahuan.
   Al-Attas membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia, adalah pemberian Allah (God Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra ruhaniyah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah. Manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga terbagi dua katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu ilahi), dan ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset manusia). Akal merupakan mata rantai yang menghubungkan antara yang jasmani dan yang ruhani, karena akal pada hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah.          Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama merupakan kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri manusia.Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam tingkat (rendah, menengah, dan tinggi) ilmu fardlu ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat menengah dan tingkat universitas. Karena universitas menurut al-Attas merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus di dahulukan. Ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit secara berurutan ketingkat yang lebih rendah mengingat tingkat universitas mencerminkan perumusan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan.
    Ilmu dan agama bukan sesuatu yang harus dipisahkan, tetapi lebih pada saling mengisi. Enstain seorang ahli fisika mengemukakan “ilmu tanpa agama adalah buta”.jadi semua punya titik temu yang mengarah pada dogma agama sebagai muaranya. Ilmu pegetahuan bermuara ke filsafat dan filsafat sebagai mother of secience “induknya ilmu bermuara ke agama.Jadi ilmu bukanlah semata-mata otoritas duniawi yang berbeda dengan agama yang dipandang berorientasi akhirat. Ini pemahaman yang salah dan harus diluruskan bahwa ilmu itu adalah upaya akal untuk mengenal gejala alam yang tentunya sebagai cara mengenal keagungan Allah.
   Akar masalah dikotomi ilmu dalam Islam di Indonesia persoalan pemisahan antara ilmu dan agama. Menurut Dr. Mochtar Naim dikotomi pendidikan adalah penyebab utama dari kesenjangan pendidikan di Indonesia dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Hal ini merupakan warisan “leluhur” dari pihak koloni Belanda.
   Menjadi hal yang klasik dan menjadi perdebatan umum dalam dikotomi ilmu dalam Islam hal ini dapat kita lihat orang masih membedakan “ilmu-ilmu agama” (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences). Dikotomi yang mulai muncul dan mapan sejak abad pertengahan sejarah Islam ternyata masih bertahan di kalangan para pemikir dan praktisi pendidikan di banyak wilayah dunia muslim termasuk Indonesia baik pada tingkat konsepsi maupun kelembagaan pendidikan.
  Berbicara lebih jauh tentang pengdikotomian ilmu hal ini sangatlah terkait dengan masalah dikotomi pendidikan (kelembagaan), sehingga berimbas pada terjadinya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama dalam arti kelembagaan yang dimana hal ini merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda, karena anak-anak yang bisa masuk sekolah Belanda sebelum kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih madrasah atau pondok pesantren, yang memang sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Karena tekanan politik pemerintah kolonial, maka sekolah-sekolah agama Islam memisah diri dan terkontak dalam kubu tersendiri.Sehingga dengan sendirinya mulailah pendidikan terkotak-kotak (dikotomi) antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Bila kita menoleh sejarah pendidikan Islam maka menurut Azyumardi Azra, hal ini bermula dari historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha.
  Setelah kemerdekaan, dulaisme yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda tetap mengakar dalam dunia pendidikan kita. Pandangan beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan yang kurang menghargai sekolah-sekolah Islam mendorong sebagian pemimpin dan pengelola sekolah tersebut berpegang pada sikap semula : berdiri di kutub yang berbeda dengan sekolah umum. Oleh karena itu keikutsertaan Departemen Agama secara historis dalam menangani sekolah-sekolah agama sangat diperlukan. Sebab kalau tidak sekolah-sekolah akan berjalan dengan arahnya sendiri-sendiri. Dengan tugas dan fungsinya dibidang pendidikan, Departemen agama telah mengemban konsep konvergensi yaitu satu pihak memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum sekolah agama.
Kemudian dengan dikeluarkannya surat keputusan Menteri Pendidikan, Menteri Agama dan Mendagri tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah juga menjadi usaha untuk menghilangkan dikotomi pendidikan di Indonesia,walaupun secara kelembagaan berjalan terus. Akan tetapi SKB tiga menteri ini tidak banyak mengatasi problem dikotomi yang hingga kini tetap menjadi-jadi.
   Hubungan antara ilmu dan agama ialah suatu pemikiran manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, melalui fenomena qauniyah dan fenomena aqliyah yang berkembang terus menerus. Inti pemahaman hubungan tersebut ialah keimanan dan ketundukan mutlak manusia kepada Allah yang tercermin dalam sikap dan prilaku:
1) Kebenaran Mutlak (al-haq) hanya kepada Allah semata dan kebenaran yang dicapai manusia (dengan qauniyah atau naqliyah) hanya kebenaran relatif
2) Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama karena keduanya berasal dari sumber yang sama
3) Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehiduapan manusia. 


Related : MAKALAH TENTANG DIKOTOMI DAN DUALISME PENDIDIKAN

0 Komentar untuk "MAKALAH TENTANG DIKOTOMI DAN DUALISME PENDIDIKAN"

loading...