Selamat datang di BLOG kami.... Kumpulan pendidikan yang mungkin bisa membatu untuk semua.

MAKALAH TENTANG DIKOTOMI DAN DUALISME PENDIDIKAN


C. Faktor-Faktor yang menyebabkan timbulnya dikotomi dan dulaisme dalam pendidikan

   Lantas, mengapa terjadi dikotomi ilmu?Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari beberapa hal.Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya.Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh.Epistemologi merupakan salah satu wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of knowledge). Epistemologi membahas tentang apa itu “tahu”, bagaimana cara mengetahui, untuk apa mengetahui, juga tentang dasar-dasar, sumber, tujuan dan klasifikasi pengetahuan. dari epistemologi, muncullah struktur ilmu pengetahuan sampai ke anak cabang.                Sebagai contoh, ketika filsafat sebagai induk segala ilmu (mother off all sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu, anggap saja ilmu pendidikan, maka disiplin ilmu pendidikan pun pecah menjadi cabang ilmu yang makin spesifik: teknolgi pendidikan, psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan seterusnya. Kemudian, cabang ilmu pendidikan tersebut pecah lagi menjadi anak cabang, semisal perencanaan pendidikan, perencanaan kurikulum, strategi belajar mengajr, dan seterusnya.Tak pelak lagi hal ini menyebabkan jarak antar filsafat sebagai induk menjadi kian jauh dengan anak cabang ilmu.Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan, di mana pelakunya menjadi ahli atau profesioanl di bidangnya masing-masing.
    Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini, dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif. Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila dibandingkan dengan umat dan negara lain.
    Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Sehinggga, dalam lembaga pendidikan Islam tidak terjadi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Sebenarnya, asumsi mengenai dikotomik ini, bukanlah monopoli lembaga pendidikan. Bagaikan sebuah wabah, symptom dikotomi ini menyerang ke seluruh penjuru kehidupan umat Islam, seperti terjadinya polarisai Sunni-Syi’ah, bahkan faksi-faksi dalam Sunni sendiri, ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran teologi. Adapun dalam pendidikan Islam itu sendiri, masih menghadapi pola pikir dikotomik, yakni dikotomisme antara urusan duniawi-ukhrawi, akal-wahyu, iman-ilmu, Allah-manusia-alam, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum.Sehinggga mau tidak mau paradigma masyarakat kita sudah terjadi dikotomi tersebut.Bahkan hal ini diperparah lagi kondisi pendidikan kita yang dipengaruhi oleh sistem politik, budaya, hukum, dan seterusnya yang melanda umat Islam, sebagai krisis yang dialami pendidikan Islam.
   Setelah kita berbicara mengenai akar masalah dikotomi ilmu di Indonesia, sekarang akan dipaparkan penyebab dan akibatnya dikotomi ini secara luas (sejarah Islam). Kemunculan dikotomi pendidikan menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutip oleh Jasa Ungguh Muliawan, ia bermula dari historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha.Selain itu terjadinya krisis multidimensi dalam pendidikan Islam, meminjam istilah Azyumardi Azra ia melihat pada persoalan-persoalan yang memang secara riil dihadapi oleh sistem pemikiran dan pendidikan Islam pada umumnya.
   Sedangkan secara gamblang Azyumardi Azra menyebutkan bahwa permasalahan dikotomi pendidikan (ilmu) pertama berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu adanya krisis konseptual baik itu pada tataran epistemologisnya. Krisis konseptual tentang defenisi atau terjadinya pembatasan ilmu-ilmu dalam sistem pendidikan Islam itu sendiri, atau melihat konteks Indonesia adalah Sistem Pendidikan Nasional.
    Pada prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan akhirnya sampai pada tingkat kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara pendidikan Islam sebagai ilmu dengan Pendidikan Islam sebagi Lembaga Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan ketidakmampuan membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam.  
Krisis konseptual yang dimaksud adalah terjadinya pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam. Kita sering mendengarkan adanya istilah ilmu-ilmu profane, yaitu ilmu-ilmu keduniaan (general sciences), yang kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah / religious sciences) atau menurut Azyumardi Azra yaitu ilmu-ilmu sacral (transenden). Sehingga hal ini berimplikasi bukan hanya pada tataran bidang keilmuan itu sendiri, tapi juga hal ini menyebabkan terjadinya pengkotakan (adanya gap) pada bidang kelembagaan, yang selanjutnya juga akan menimbulkan krisis kelembagaan.
   Krisis kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum. Ini jelas sekali terefleksi di Indonesia; misalnya dengan adanya dulaisme sistem pendidikan, pendidikan agama yang diwakili madrasah dan pesantren dengan pendidikan umum; di tingkat pendidikan tinggi terdapat IAIN (sekarang UIN) dan perguruan tinggi umum. Hal ini dapat pula berimpilkasi mulai dari segi pendanaan pendidikan yang dibawah naungan Diknas dan Depag sangat jauh berbeda, sehingga hal ini pula dapat berimplikasi pada penunjang sarana dan prasarana. Akan tetapi seiring waktu UIN dengan segala perkembangannya membuka Fakultas Tadris yang membuka jurusan-jurusan ilmu-ilmu umum.Hal ini menjadi babak baru buat memecahkan masalah dikotomi pendidikan di Indonesia.
   Sedangkan menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua (2) penyebab pokok terjadinya dikotomi pendidikan dan dunia Islam, sebagai berikut:
1). Imperialisme dan kolonialisme Barat atas dunia Islam
    Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim kepada umat di abad ke-6 dan ke-7 H./ abad ke-12 dan ke13M., yakni serbuan tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana, mereka mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada syari’ah. Saat itu mereka meninggalkan sumber utama kreativitas, yakni “ijtihad”.
Mereka mencanangkan pintu ijtihad tertutup, mereka memperlakukan syari’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur.Mereka menyatakan bahwa setiap penyimpangan dari syari’ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak disukai dan terkutuk.Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut.
    Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang ditaklukkan Ottoman di Eropa.Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah dunia Islam, kecuali Turki karena di sini kekuatan Barat berhasil diusir.Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk dijadikan daerah jajahan.Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang dialami dunia Islam. Sebagai respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin muslim di Turki, Mesir, dan India mencoba melakukan westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan militer.
2). Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam
   Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah pemimpin.Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah laku.Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat Islam.Setiap Muslim yang sadar berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam.
   Pada waktu yang bersamaan, seorang faqih (ahli fiqih) adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.
  Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah.Saat keduanya terpisah, masing-masing kondisinya memburuk.Para pemimpin politik dan pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka.Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin.Untuk mempertahankan posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan mereka dalam mengutuk otoritas politik.
  Di saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam tampak nyata, karena tidak padunya berbagai pemikiran dan aksi di dalamnya. Stagnasi pemikiran di dunia Islam itu terjadi juga karena umat Islam terlena dalam kelesuan politik dan budaya. ]Mereka cenderung menengok ke belakang ke romantisme kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.
  Menurut al-Faruqi, sebagai prasyarat untuk menghilangkan dulaisme sistem pendidikan, yang selanjutnya juga menghilangkan dulaisme kehidupan, demi mencari solusi dari malise yang dihadapi umat, pengetahuan harus diIslamisasikan, sambil menghindari perangkap dan kekurangan metodologi tradisional. Islamisasi pengetahuan itu harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam. Untuk menuang kembali disiplin-disipilin di bawah kerangka Islam berarti membuat teori, metode, prinsip, dan tujuan untuk tunduk kepada: keesaan Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan pengetahuan dan kebenaran, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia.
  Dengan demikian, tawaran al-Faruqi sebagai solusi problem dikotomi kehidupan umat Islam (termasuk dikotomi pendidikan) adalah islamisasi ilmu dalam pendidikan; yakni pemaduan kedua sistem pendidikan antara Islam klasik dan Barat modern melalui filterisasi ilmu. Sistem pendidikan Islam yang terdiri dari madrasah-madrasah dasar dan menengah, juga kuliyah-kuliyah dan jami’ah-jami’ah pada tingkat perguruan tinggi harus dipadukan dengan sistem sekular dari sekolah-sekolah dan universitas-universitas umum dengan proses islamisasi ilmu.


D. Sejarah timbulnya dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia

 Sejarah di Indonesia, membuktikan terwujudnya komunitas haji, ulama, santri dan pedagang membuat anti terhadap imperialisme Belanda, seperti yang dilansir Clifford, pertumbuhan pesantren yang anti imperialism Belanda membangkitkan Santri Insureaction atau pemberontakan santri seperti yang terjadi pada tahun 1820-1880 terjadi paling tidak lima kali pemberontakan santri seperti perang Paderi ( 1821-1828), Perang Dipenogoro, Perang Banjarmasin, Perang Aceh dan perang Banten dan masih banyak perang lainnya dimotori oleh gerakan santri, kiayai, ulama yang berbasis Islam. Hal ini menimbulkan kecurigaan Pemerintah Belanda terhadap Islam.
   Sekolah pendidikan dasar telah diperkenalkan oleh Belanda di Indonesia.Sekolah yang tadinya hanya untuk kalangan keturunan Belanda, dengan etische politiek (kepotangan budi) di negara jajahan Belanda (1870) mulai membuka sekolahan bagi kaum bumi putera (SR).Hal tersebut nampaknya juga akibat pengaruh faham humanisme dan kelahiran baru yang melanda negeri Belanda.
Program utamannya saat itu mungkin hanya untuk kepentingan Belanda juga (untuk meningkatkan produktivitas di tanah jajahannya).Untuk Perguruan tinggi dimulai dengan berdirinya sekolah-sekolah kejuruan. Misal STOVIA(1902) yang kemudia berubah jadi NIAS(1913) dan GHS adalah cikal bakal dari fakultas kedokterannya UI. Lalu juga Rechts School (1922) dan Rechthoogen School (1924) kemudian melebur jadi fakultas hukumnya UI.Juga disusul beberapa fakultas lainya.
  Zakiah Darajat mengungkapkan pada masa pemerintahan Belanda, pendidikan agama tidak diberikan di sekolah-sekolah negeri dengan alasan pemerintah bersikap netral untuk tidak mencampuri masalah pendidikan agama, karena pendidikan agama merupakan tanggung jawab keluarga, sehingga setiap usulan wakil-wakil rakyat pribumi di Volksraad agar memasukan pelajaran agama Islam di di Perguruan Umum selalu ditolaknya, yang dibolehkan hanya di sekolah-sekolah partikulir (swasta) yang berdasarkan keagamaan.
  Pemerintah Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan kaku, kontrol yang ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat dan bahkan menghalang-halangi pelaksanaan pendidikan Islam, dengan membentuk suatu badan yang khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesnterraden.
  Ordonansi guru dikenal pada masa pemerintah Belanda dengan mengeluarkan peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie). Selain itu untuk lingkungan kehidupan agama Kristen di Indonesia yang selalu menghadapi reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga sekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama. Seperti yang dinyatakan pada Indische Staatsregeling bahwa pendidikan umum adalah netral, yang berarti pengajaran diberikan dengan menghormati keyakinan masing-masing. Namun disekolah umum untuk kalangan pribumi, pada HIS dan MULO diberikan pelajaran agama Islam, secara sukarela sekali dalam seminggu bagi murid-murid yang berminat atas persetujuan orang tuanya.
   Pemerintah Belanda sendiri yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan bagi pribumi, membentuk dua lembaga, yaitu Departemen van Onderwijst en Eerendinst untuk mengawasi pengajaran agama di sekolah umum dan Departemen van Binnenlandsche Zaken untuk pendidikan Islam dilembaga pendidikan Islam.Kebijakan pemerintah kolonial yang memarjinalkan aspirasi dan kepentingan kalangan muslim menjadi cikal bakal terciptanya dualitas pengaturan negara terhadap berbagai masalah yang berhubungan dengan kepentingan kalangan muslim.
  Dalam konteks Indonesia, dikotomi dimulai semenjak Indonesia mengenal sistem pendidikan modern. Ilmu-ilmu Islam, misalnya, ia berada di bawah Depag (Departemen Agama). Sementara ilmu-ilmu umum (sekuler) berada di bawah Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional). Repotnya hal ini sangat berpengaruh pada fasilitas dan anggaran dana. Kalau kita perhatikan APBN 2006, misalnya, ternyata yang terakhir ini anggarannya relatif lebih subur (Rp. 36.755,9 milyar) daripada yang pertama (hanyasebesar Rp. 9.720,9 milyar: berbanding 79,1% : 21,9%.
   Ketika undang-undang pendidikan nasional pertama yaitu, UU No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) diundangkan, madrasah dan pesantren sebagai pendidikan Islam tidak dimasukan sama sekali ke dalam sistem pendidikan nasional, yang ada hanya masalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah (umum), pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan di bawah Menteri Agama. Menurut pemerintah hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Islam lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum terstandarkan, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.
   Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut.Ternyata keputusan ini mendapat tantangan keras dari kalangan Islam. Alasannya bahwa dengan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional memang madrasah akan mendapat status yang sama dengan sekolah, tetapi dengan status ini terdapat kongkurensi bahwa madrasah harus dikelola oleh Depdikbud sebagai satu-satunya departemen yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Mereka lebih menghendaki madrasah tetap berada di bawah Departemen Agama.
   Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres tersebut sebagai manuver untuk mengabaikan peranan dan manfaat madrasah, juga dipandang sebagai langkah untuk mengebiri tugas dan peranan Departemen Agama dan bagian dari upaya sekulerisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Hal ini cukup beralasan dikaitkan dengan setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintah Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik yang memarjinalkan politik Islam melalui pengebirian partai politik Islam.
    Setelah Indonesia merdeka, para pemimpin dan perintis kemerdekaan menyadari betapa pentingnya pendidikan agama.Kihajar Dewantoro selaku Menteri pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan pada kabinet pertama menyatakan pendidikan agama perlu diajarkan di sekoklah-sekolah negeri. Kemudian pada 3 Januari 1946 didirikanlah Kementerian Agama yang bertugas beberapa diantaranya melaksanakan kewajiban-kewajibannya antara lain urusan pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Kristen, mengangkat guru agama dan mengadakan pengawasan pelajaran agama.
  Ilmu-ilmu pengetahuan modern yang banyak berdasar kepada hukum alam (natural laws=sunnatullah) tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Hukum alam dan wahyu berasal dari Tuhan, maka antara keduanya tidak mungkin bertentangan dan ilmu pengetahuan mesti sesuai dengan Islam.Islam di masa lampau mengalami kemajuan yang disebabkan oleh salah satunya yaitu kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu,maka untuk mencapai kemajuan yang hilang umat Islam harus kembali mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan.
   Untuk merealisasikan hasil di bidang pendidikan agama, maka diterbitkan peraturan Bersama Menteri PP&K dan Menteri Agama No. 1142/Bhg A ( Pengajaran)/No.1285/KJ Agama tanggal 2-12-1946 yang menentukan pelajaran agama di Sekolah Rakyat sejak kelas IV dan mulai berlaku 1-1-1947. Kemudian lahir UU.No. 4 /1950 Jo.No.12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Salah satunya pasal 20 Bab 12 yang menyatakan bahwa dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
    Pelajaran agama kemudian ditetapkan dengan TAP MPRS No.II/MPRS/1960 dengan menjadikan pendidikan agama menjadi pelajaran di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Universitas Negeri hingga saat ini.
Abuddin Nata membagi kebijakan pemerintahan Indonesia secara umum dalam bidang pendidikan ke dalam empat periode sebagai berikut:
   Pertama, masa pra kemerdekaan, yaitu masa penjajah Belanda yang menerapkan diskriminatif terhadap rakyat jajahannya dan termasuk pelit dalam memberikan pendidikan bagi rakyatnya.Belanda membiarkan kebodohan agar mudah ditindas, dijajah dan diadudomba. Kemudian sedikit ada perubahan setelah ada tekanan internasional yang dikenal dengan politik etis, salah satunya menyedikan pendidikan kepada rakyat secara terbatas dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja yang dipekerjakan di beberapa perusahaan milik Belanda. Belanda tidak suka terhadap keberadaan pendidikan Islam yang diselenggarakan di Pesantren, madrasah dan sebagainya karena dianggap sebagai sarang pemberontak, dan pembangkang yang dikenal sebagai konsep jihad dan menganggap Belanda sebagai orang kafir yang harus diperangi, sehingga umat Islam bersikap non-kooperatif, tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda.
   Kedua, masa pasca kemerdekaan yang dikenal masa orde lama. Pada masa ini terjadi upaya pembaharuan dan memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang lebih bermutu sejalan dengan tuntutan zaman, namun suhu politik pada saat itu sedang mengalami pancaroba dan mencari bentuknya.
   Ketiga, masa Orde Baru,pendidikan pada masa ini bersifat sentralistik,refresif dandepolitisasi masyarakat yang harus berorientasi kepada loyalitas terhadap pemerintahan. Anggaran alokasi untuk pendidikan sangat minim bila dibandingkan dengan Negara-negara berkembang lainnya yang tidak pernah mencapai 10% dari APBN.
Keempat masa orde reformasi, dimana semakin berkembangnya wacana demokrasi, sehingga menghasiulkan Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional.
    Kondisi demikian pada akhirnya pemerintah terlibat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan mengembangkan beberapa madrasah menjadi madrasah negeri.Alasannya ialah karena situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah.Kalau kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah.Kalau para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama merupakan keharusan sejarah, maka tidak demikian halnya di waktu sekarang.
   Ada dua ancaman dari dulaisme pendidikan yang harus diwaspadai menurut Ahmad Tafsir, pertama, subjek-subjek baru yang diambil dari sekolah modern akan mengambil waktu yang lebih lama dalam kurikulum yang akan mengurangi subjek-subjek esensial mengakibatkan semangat keislaman semakin melemah, kedua kekurangwaspadaan menyebabkan masuknya sekularisme ke dalam pemikiran Islam. Agama dibatasi dalam beberapa jam pelajaran agama yang pada akhirnya akan mengeluarkan agama dari aspek-aspek tertentu kehidupan manusia terutama sains.

E. Dampak akibat dari dikotomi dan dualisme pendidikan di Indonesia

   Zakiah Darajat menuliskan dengan gamblang tentang tragedy dunia modern yang disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi pola pikir manusia modern antara lain kebutuhan hidup yang meningkat, rasa individualistis dan egois, persaingan dalam hidup, keadaan yang tidak stabil yang disebabkan akibat perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan cepat tetapi tidak disertai oleh agama yang pada akhirnya membawa lengahnya orang kepada kepercayaan agama yang dahulu dijadikan sebagai pengendali tingkah laku dan sikap dalam hidup, logika dan cara-cara ilmiah menonjol, sedangkan segi-segi perasaan dan emosi kurang mendapat perhatian bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
   Gambaran sejarah pendidikan di Indonesia saat ini bisa dialami bersama.Dari gambaran di atas ternyata masalah pendidikan bukan sekedar tergantung pada teory dan ilmu pendidikan itu saja, tapi juga iklim sosial budaya dan politik ikut berperan.Namun bukan alasan untuk tidak memperbaharui kehidupan melalui pembaharuan konsep pendidikan itu sendiri. Jadi reformasi pendidikan adalah mutlak perlu dilakukan terus menerus sesuai perubahan pemahaman umat akan kehidupan itu sendiri.
Dengan munculnya dikotomi (dulaisme) pendidikan merupakan pukulan besar yang sudah lama menghinggapi pendidikan di Indonesia, sehingga hal ini mempunyai dampak negatif yaitu:
1. Anti agama telah dipersempit yaitu sejauh yang berkaitan dengan aspek teologi Islam yang diajarkan disekolah-sekolah agama selama ini.
2. Sekolah agama telah terkotak dalam kubu tersendiri
3. Sumber masukan sekolah agama dan perguruan tinggi Agama Islam rata­-rata ber IQ rendah, maka mutu tamatannya adalah tergolong kelas dua.
4. Kegiatan keagamaan dan api keislaman di IAIN dan perguruan Agama Islam kurang menonjol dan kurang dirasakan dibandingkan dengan perguruan tinggi umum.
   Adanya dikotomi dalam pendidikan yakni ilmu umum dan ilmu agama dengan memotong hubungan kedua ilmu tersebut, itulah yang diakomodir undang-undang Pendidikan, melihat UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI, pasal 15 yang berbunyi: “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan”. Dari pasal tersebut tampak jelas terjadinya dikotomi dalam pendidikan agama dan pendidikan umum, di tingkat kelembagaan pun dipisahkan antara perguruan tinggi agama seperti UIN Syarif Hidayatullah dan perguruan tinggi umum seperti ITB, UI dan lain-lain.
   Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Pendidikan Islam tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan Islam secara teoritik sehingga hanya menghasilkan seorang Islamolog, tetapi pendidikan Islam juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku yang Islami dengan kata lain membentuk manusia Islamist.
Diantara beberapa fakta yang diakibatkan hasil pendidikan Indonesia berdasarkan beberapa penelitian sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
2.Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba.Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran-rakyat.com).Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% (news.okezone.com).
3. Kebijakan UN yang banyak ditentang oleh masyarakat karena dinilai diskriminatif dan hanya menghamburkan anggaran pendidikan, antara lain ditentang oleh Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang   Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan (www.tokohindonesia.com).
4. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru yang berpengaruh terahadap rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
5.Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Pada tahun 2009 diperkirakan ada 116,5 juta orang yang akan mencari kerja (www.kompas.com).
6. Menurut hasil survey UNDP (2002), kualitas SDM Indonesia ternyata hanya menduduki urutan 110 dari 179 negara di dunia , posisi Indonesia hanya satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh tertinggal di bawah Philipina , Thailand , Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan India, Indonesia sangat jauh tertinggal.( Kompas 4/9/2004).

7. 90% anak usia 8-16 tahun telah buka situs porno di internet. Rata-rata anak usia 11 tahun membuka situs porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak diantara mereka yang membuka situs porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah (Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Asosiasi Warung Internet Indonesia, Irwin Day. 25 Juli 2008. Media Indonesia)‏.

Related : MAKALAH TENTANG DIKOTOMI DAN DUALISME PENDIDIKAN

0 Komentar untuk "MAKALAH TENTANG DIKOTOMI DAN DUALISME PENDIDIKAN"

loading...