KEPEMIMPINAN
PENGERTIAN KEPEMIMPINAN & PERKEMBANGAN TEORI KEPEMIMPINAN
Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian
sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut
kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola
atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai
dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya
menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan
atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya
dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini.
Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan
bahwa “Leader are born and nor made”(pemimpin itu dilahirkan
(bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan
pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah
dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang
ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia
akan timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis
pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis.
Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah
teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada
sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not
born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini
merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori
ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi
pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.
Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak
seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori
tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini
pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang
baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian
dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan
untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari
kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling
mendekati kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih
diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan
timbulnya sosok pemimpin yang baik.
Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang
timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat
bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen,
yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan
tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard
(1992) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi
dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat
dinotasikan sebagai : k = f (p, b, s).
Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah
seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan
unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi.
Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam
bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti
keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang
atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau
pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah
disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan
mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang
pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang
pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah
suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat
tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya
dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan
pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang
dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan
demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu
pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan
lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.
- Tipologi Kepemimpinan
Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan
tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian
berikut (Siagian,1997).
Tipe Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang
memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai
pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi;
Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran
dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan
pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur paksaan
dan bersifat menghukum.
Tipe Militeristis. Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang
dimaksud dari seorang pemimpin tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin
organisasi militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang
pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan sistem
perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam menggerakkan bawahan senang
bergantung kepada pangkat dan jabatannya; Senang pada formalitas yang
berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar
menerima kritikan dari bawahannya; Menggemari upacara-upacara untuk berbagai
keadaan.
Tipe Paternalistis. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin
yang paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut :
menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu
melindungi (overly protective); jarang memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering
bersikap maha tahu.
Tipe Karismatik. Hingga sekarang ini para ahli
belum berhasil menemukan sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki
karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik
yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya yang
sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan
mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan
tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang
demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supra natural powers).
Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria
untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah
seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki
karisma meskipun umurnya masih muda pada waktu terpilih menjadi Presiden
Amerika Serikat. Mengenai profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang
yang ‘ganteng”.
Tipe Demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan telah
membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk
organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki
karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu
bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di
dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi
dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima
saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha
mengutamakan kerjasama dan teamworkdalam usaha mencapai tujuan;
ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat
kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat
kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain;
selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan
berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin
tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian
adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi
seorang pemimpin yang demokratis.
- Model Kepemimpinan.
Model kepemimpinan didasarkan pada pendekatan
yang mengacu kepada hakikat kepemimpinan yang berlandaskan pada perilaku dan
keterampilan seseorang yang berbaur kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang
berbeda. Beberapa model yang menganut pendekatan ini, di antaranya adalah
sebagai berikut.
Model Kepemimpinan Kontinum (Otokratis-Demokratis).
Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa
pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang
menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan
cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku
demokratis. Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana
sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas
berada di tangan pemimpin, karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan
ada pada dirinya serta memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya
dipengaruhi melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya
kepemimpinan ini mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat,
dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan
keteraturan bagi bawahan. Selain itu, orientasi utama dari perilaku otokratis
ini adalah pada tugas.
Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini
memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini
terjadi jika bawahan dimotivasi dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan
kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama dan team workuntuk
mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan
kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini terbuka bagi diskusi dan keputusan
kelompok.
Namun, kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak
mengacu pada dua model perilaku kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan
memiliki kecenderungan yang terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut.
Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) mengelompokkannya
menjadi tujuh kecenderungan perilaku kepemimpinan. Ketujuh perilaku inipun
tidak mutlak melainkan akan memiliki kecenderungan perilaku kepemimpinan
mengikuti suatu garis kontinum dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas
sampai dengan sisi demokratis yang berorientasi pada hubungan.
Model Kepemimpinan Ohio. Dalam penelitiannya, Universitas Ohio
melahirkan teori dua faktor tentang gaya kepemimpinan yaitu struktur
inisiasi dan konsiderasi (Hersey dan
Blanchard, 1992). Struktur inisiasi mengacu kepada perilaku pemimpin dalam
menggambarkan hubungan antara dirinya dengan anggota kelompok kerja dalam upaya
membentuk pola organisasi, saluran komunikasi, dan metode atau prosedur yang
ditetapkan dengan baik. Adapun konsiderasi mengacu kepada perilaku yang
menunjukkan persahabatan, kepercayaan timbal-balik, rasa hormat dan kehangatan
dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya (bawahan). Adapun contoh
dari faktor konsiderasi misalnya pemimpin menyediakan waktu untuk menyimak
anggota kelompok, pemimpin mau mengadakan perubahan, dan pemimpin bersikap
bersahabat dan dapat didekati. Sedangkan contoh untuk faktor struktur inisiasi
misalnya pemimpin menugaskan tugas tertentu kepada anggota kelompok, pemimpin
meminta anggota kelompok mematuhi tata tertib dan peraturan standar, dan
pemimpin memberitahu anggota kelompok tentang hal-hal yang diharapkan dari
mereka. Kedua faktor dalam model kepemimpinan Ohio tersebut dalam
implementasinya mengacu pada empat kuadran, yaitu : (a) model kepemimpinan yang
rendah konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (b) model kepemimpinan yang
tinggi konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (c) model kepemimpinan yang
tinggi konsiderasinya tetapi rendah struktur inisiasinya, dan (d) model
kepemimpinan yang rendah konsiderasinya tetapi tinggi struktur inisiasinya.
Model Kepemimpinan Likert (Likert’s Management System).
Likert dalam Stoner (1978) menyatakan bahwa dalam model kepemimpinan dapat
dikelompokkan dalam empat sistem, yaitu sistem otoriter, otoriter yang
bijaksana, konsultatif, dan partisipatif. Penjelasan dari keempat sistem
tersebut adalah seperti yang disajikan pada bagian berikut ini.
Sistem Otoriter (Sangat Otokratis). Dalam sistem ini,
pimpinan menentukan semua keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan
memerintahkan semua bawahan untuk menjalankannya. Untuk itu, pemimpin juga
menentukan standar pekerjaan yang harus dijalankan oleh bawahan. Dalam
menjalankan pekerjaannya, pimpinan cenderung menerapkan ancaman dan hukuman.
Oleh karena itu, hubungan antara pimpinan dan bawahan dalam sistem adalah
saling curiga satu dengan lainnya.
Sistem Otoriter Bijak (Otokratis Paternalistik).
Perbedaan dengan sistem sebelumnya adalah terletak kepada adanya fleksibilitas
pimpinan dalam menetapkan standar yang ditandai dengan meminta pendapat kepada
bawahan. Selain itu, pimpinan dalam sistem ini juga sering memberikan pujian
dan bahkan hadiah ketika bawahan berhasil bekerja dengan baik. Namun demikian,
pada sistem inipun, sikap pemimpin yang selalu memerintah tetap dominan.
Sistem Konsultatif. Kondisi lingkungan kerja pada
sistem ini dicirikan adanya pola komunikasi dua arah antara pemimpin dan
bawahan. Pemimpin dalam menerapkan kepemimpinannya cenderung lebih bersifat
menudukung. Selain itu sistem kepemimpinan ini juga tergambar pada pola
penetapan target atau sasaran organisasi yang cenderung bersifat konsultatif
dan memungkinkan diberikannya wewenang pada bawahan pada tingkatan tertentu.
Sistem Partisipatif. Pada sistem ini, pemimpin
memiliki gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada kerja kelompok sampai di
tingkat bawah. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemimpin biasanya menunjukkan
keterbukaan dan memberikan kepercayaan yang tinggi pada bawahan. Sehingga dalam
proses pengambilan keputusan dan penentuan target pemimpin selalu melibatkan
bawahan. Dalam sistem inipun, pola komunikasi yang terjadi adalah pola dua arah
dengan memberikan kebebasan kepada bawahan untuk mengungkapkan seluruh ide
ataupun permasalahannya yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan.
Dengan demikian, model kepemimpinan yang disampaikan
oleh Likert ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari model-model yang
dikembangkan oleh Universitasi Ohio, yaitu dari sudut pandang struktur inisasi
dan konsiderasi.
Model Kepemimpinan Managerial Grid. Jika dalam model Ohio, kepemimpinan
ditinjau dari sisi struktur inisiasi dan konsideransinya, maka dalam model manajerial
grid yang disampaikan oleh Blake dan Mouton dalam Robbins (1996)
memperkenalkan model kepemimpinan yang ditinjau dari perhatiannya terhadap
tugas dan perhatian pada orang. Kedua sisi tinjauan model kepemimpinan ini
kemudian diformulasikan dalam tingkatan-tingkatan, yaitu antara 0 sampai dengan
9. Dalam pemikiran model managerial grid adalah seorang
pemimpin selain harus lebih memikirkan mengenai tugas-tugas yang akan
dicapainya juga dituntut untuk memiliki orientasi yang baik terhadap hubungan
kerja dengan manusia sebagai bawahannya. Artinya bahwa seorang pemimpin tidak
dapat hanya memikirkan pencapaian tugas saja tanpa memperhitungkan faktor
hubungan dengan bawahannya, sehingga seorang pemimpin dalam mengambil suatu
sikap terhadap tugas, kebijakan-kebijakan yang harus diambil, proses dan
prosedur penyelesaian tugas, maka saat itu juga pemimpin harus memperhatikan
pola hubungan dengan staf atau bawahannya secara baik. Menurut Blake dan Mouton
ini, kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi empat kecenderungan yang ekstrim
dan satu kecenderungan yang terletak di tengah-tengah keempat gaya ekstrim
tersebut. Gaya kepemimpinan tersebut adalah :
Grid 1.1 disebut Impoverished leadership (Model
Kepemimpinan yang Tandus), dalam kepemimpinan ini si pemimpin selalu menghidar
dari segala bentuk tanggung jawab dan perhatian terhadap bawahannya.
Grid 9.9 disebut Team leadership (Model
Kepemimpinan Tim), pimpinan menaruh perhatian besar terhadap hasil maupun
hubungan kerja, sehingga mendorong bawahan untuk berfikir dan bekerja
(bertugas) serta terciptanya hubungan yang serasi antara pimpinan dan bawahan.
Grid 1.9 disebut Country Club leadership (Model
Kepemimpinan Perkumpulan), pimpinan lebih mementingkan hubungan kerja atau
kepentingan bawahan, sehingga hasil/tugas kurang diperhatikan.
Grid 9.1 disebut Task leadership (Model
Kepemimpinan Tugas), kepemimpinan ini bersifat otoriter karena sangat
mementingkan tugas/hasil dan bawahan dianggap tidak penting karena
sewaktu-waktu dapat diganti.
Grid 5.5 disebut Middle of the
road (Model Kepemimpinan Jalan Tengah), di mana si pemimpin cukup
memperhatikan dan mempertahankan serta menyeimbangkan antara moral bawahan
dengan keharusan penyelesaian pekerjaan pada tingkat yang memuaskan, di mana
hubungan antara pimpinan dan bawahan bersifat kebapakan.
Berdasakan uraian di atas, pada dasarnya model
kepemimpinan manajerial grid ini relatif lebih rinci dalam menggambarkan
kecenderungan kepemimpinan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwasanya
model ini merupakan pandangan yang berawal dari pemikiran yang relatif sama
dengan model sebelumnya, yaitu seberapa otokratis dan demokratisnya
kepemimpinan dari sudut pandang perhatiannya pada orang dan tugas.
Model Kepemimpinan Kontingensi. Model kepemimpinan kontingensi
dikembang-kan oleh Fielder. Fielder dalam Gibson, Ivancevich dan Donnelly
(1995) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bagi sebuah
organisasi bergantung pada situasi di mana pemimpin bekerja. Menurut model
kepemimpinan ini, terdapat tiga variabel utama yang cenderung menentukan apakah
situasi menguntukang bagi pemimpin atau tidak. Ketiga variabel utama tersebut
adalah : hubungan pribadi pemimpin dengan para anggota kelompok (hubungan
pemimpin-anggota); kadar struktur tugas yang ditugaskan kepada kelompok untuk
dilaksanakan (struktur tugas); dan kekuasaan dan kewenangan posisi yang
dimiliki (kuasa posisi).
Berdasar ketiga variabel utama tersebut, Fiedler
menyimpulkan bahwa : para pemimpin yang berorientasi pada tugas cenderung
berprestasi terbaik dalam situasi kelompok yang sangat menguntungkan maupun
tidak menguntungkan sekalipun; para pemimpin yang berorientasi pada hubungan
cenderung berprestasi terbaik dalam situasi-situasi yang cukup menguntungkan.
Dari kesimpulan model kepemimpinan tersebut, pendapat
Fiedler cenderung kembali pada konsep kontinum perilaku pemimpin. Namun
perbedaannya di sini adalah bahwa situasi yang cenderung menguntungkan dan yang
cenderung tidak menguntungkan dipisahkan dalam dua kontinum yang berbeda.
Model Kepemimpinan Tiga Dimensi. Model kepemimpinan ini dikembangkan
oleh Redin. Model tiga dimensi ini, pada dasarnya merupakan pengembangan dari
model yang dikembangkan oleh Universitas Ohio dan model Managerial Grid.
Perbedaan utama dari dua model ini adalah adanya penambahan satu dimensi pada
model tiga dimensi, yaitu dimensi efektivitas, sedangkan dua dimensi lainnya
yaitu dimensi perilaku hubungan dan dimensi perilaku tugas tetap sama.
Intisari dari model ini terletak pada pemikiran bahwa kepemimpinan
dengan kombinasi perilaku hubungan dan perilaku tugas dapat saja sama, namun
hal tersebut tidak menjamin memiliki efektivitas yang sama pula. Hal ini
terjadi karena perbedaan kondisi lingkungan yang terjadi dan dihadapi oleh
sosok pemimpin dengan kombinasi perilaku hubungan dan tugas yang sama tersebut
memiliki perbedaan. Secara umum, dimensi efektivitas lingkungan terdiri dari
dua bagian, yaitu dimensi lingkungan yang tidak efektif dan efektif.
Masing-masing bagian dimensi lingkungan ini memiliki skala yang sama 1 sampai
dengan 4, dimana untuk lingkungan tidak efektif skalanya bertanda negatif dan
untuk lingkungan yang efektif skalanya bertanda positif.
- Teori Kepemimpinan.
Salah satu prestasi yang cukup menonjol dari sosiologi
kepemimpinan modern adalah perkembangan dari teori peran (role theory).
Dikemukakan, setiap anggota suatu masyarakat menempati status posisi tertentu,
demikian juga halnya dengan individu diharapkan memainkan peran tertentu.
Dengan demikian kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam
diferensiasi peran. Ini berarti bahwa kepemimpinan dapat dikonsepsikan sebagai
suatu interaksi antara individu dengan anggota kelompoknya.
Menurut kaidah, para pemimpin atau manajer adalah
manusia-manusia super lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala
sesuatu (White, Hudgson & Crainer, 1997). Para pemimpin juga merupakan
manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam organisasi
merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Berangkat
dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan suatu
organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan dari tingkat
kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan tanpa kehadiran pemimpin,
suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah.
Dalam sejarah peradaban manusia, dikonstatir gerak
hidup dan dinamika organisasi sedikit banyak tergantung pada sekelompok kecil
manusia penyelenggara organisasi. Bahkan dapat dikatakan kemajuan umat manusia
datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil kedepan.
Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir, pencipta dan ahli
organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang disebut pemimpin. Oleh
karenanya kepemimpinan seorang merupakan kunci dari manajemen. Para pemimpin
dalam menjalankan tugasnya tidak hanya bertanggungjawab kepada atasannya,
pemilik, dan tercapainya tujuan organisasi, mereka juga bertanggungjawab
terhadap masalah-masalah internal organisasi termasuk didalamnya tanggungjawab
terhadap pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia. Secara eksternal, para
pemimpin memiliki tanggungjawab sosial kemasyarakatan atau akuntabilitas
publik.
Dari sisi teori kepemimpinan, pada dasarnya
teori-teori kepemimpinan mencoba menerangkan dua hal yaitu, faktor-faktor yang
terlibat dalam pemunculan kepemimpinan dan sifat dasar dari kepemimpinan.
Penelitian tentang dua masalah ini lebih memuaskan daripada teorinya itu
sendiri. Namun bagaimanapun teori-teori kepemimpinan cukup menarik, karena
teori banyak membantu dalam mendefinisikan dan menentukan masalah-masalah
penelitian. Dari penelusuran literatur tentang kepemimpinan, teori kepemimpinan banyak dipengaruhi oleh
penelitian Galton (1879) tentang latar belakang dari
orang-orang terkemuka yang mencoba menerangkan kepemimpinan berdasarkan
warisan. Beberapa penelitian lanjutan, mengemukakan individu-individu dalam
setiap masyarakat memiliki tingkatan yang berbeda dalam inteligensi, energi,
dan kekuatan moral serta mereka selalu dipimpin oleh individu yang benar-benar
superior.
Perkembangan selanjutnya, beberapa ahli teori
mengembangkan pandangan kemunculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu,
tempat dan situasi sesaat. Dua hipotesis yang dikembangkan tentang
kepemimpinan, yaitu ; (1) kualitas pemimpin dan kepemimpinan yang tergantung
kepada situasi kelompok, dan (2), kualitas individu dalam mengatasi situasi
sesaat merupakan hasil kepemimpinan terdahulu yang berhasil dalam mengatasi
situasi yang sama (Hocking & Boggardus, 1994).
Dua teori yaitu Teori Orang-Orang Terkemuka dan Teori
Situasional, berusaha menerangkan kepemimpinan sebagai efek dari kekuatan
tunggal. Efek interaktif antara faktor individu dengan faktor situasi tampaknya
kurang mendapat perhatian. Untuk itu, penelitian tentang kepemimpinan harus
juga termasuk ; (1) sifat-sifat efektif, intelektual dan tindakan individu, dan
(2) kondisi khusus individu didalam pelaksanaannya. Pendapat lain mengemukakan,
untuk mengerti kepemimpinan perhatian harus diarahkan kepada (1) sifat dan
motif pemimpin sebagai manusia biasa, (2) membayangkan bahwa terdapat
sekelompok orang yang dia pimpin dan motifnya mengikuti dia, (3) penampilan
peran harus dimainkan sebagai pemimpin, dan (4) kaitan kelembagaan melibatkan
dia dan pengikutnya (Hocking & Boggardus, 1994).
Beberapa pendapat tersebut, apabila diperhatikan dapat
dikategorikan sebagai teori kepemimpinan dengan sudut pandang “Personal-Situasional”. Hal
ini disebabkan, pandangannya tidak hanya pada masalah situasi yang ada, tetapi
juga dilihat interaksi antar individu maupun antar pimpinan dengan kelompoknya.
Teori kepemimpinan yang dikembangkan mengikuti tiga teori diatas, adalah Teori
Interaksi Harapan. Teori ini mengembangkan tentang peran kepemimpinan
dengan menggunakan tiga variabel dasar yaitu; tindakan, interaksi, dan
sentimen. Asumsinya, bahwa peningkatan frekuensi interaksi dan partisipasi
sangat berkaitan dengan peningkatan sentimen atau perasaan senang dan kejelasan
dari norma kelompok. Semakin tinggi kedudukan individu dalam kelompok, maka
aktivitasnya semakin sesuai dengan norma kelompok, interaksinya semakin meluas,
dan banyak anggota kelompok yang berhasil diajak berinteraksi.
Pada tahun 1957 Stogdill mengembangkan Teori
Harapan-Reinforcement untuk mencapai peran. Dikemukakan, interaksi
antar anggota dalam pelaksanaan tugas akan lebih menguatkan harapan untuk tetap
berinteraksi. Jadi, peran individu ditentukan oleh harapan bersama yang
dikaitkan dengan penampilan dan interaksi yang dilakukan. Kemudian dikemukakan,
inti kepemimpinan dapat dilihat dari usaha anggota untuk merubah motivasi
anggota lain agar perilakunya ikut berubah. Motivasi dirubah dengan melalui
perubahan harapan tentang hadiah dan hukuman. Perubahan tingkahlaku anggota
kelompok yang terjadi, dimaksudkan untuk mendapatkan hadiah atas kinerjanya.
Dengan demikian, nilai seorang pemimpin atau manajer tergantung dari
kemampuannya menciptakan harapan akan pujian atau hadiah.
Atas dasar teori diatas, House pada
tahun 1970 mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Motivasional.
Fungsi motivasi menurut teori ini untuk meningkatkan asosiasi antara cara-cara
tertentu yang bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan tingkahlaku yang
diharapkan dan meningkatkan penghargaan bawahan akan pekerjaan yang mengarah
pada tujuan. Pada tahun yang sama Fiedler mengembangkan Teori
Kepemimpinan yang Efektif. Dikemukakan, efektivitas pola tingkahlaku
pemimpin tergantung dari hasil yang ditentukan oleh situasi tertentu. Pemimpin
yang memiliki orientasi kerja cenderung lebih efektif dalam berbagai situasi.
Semakin sosiabel interaksi kesesuaian pemimpin, tingkat efektivitas
kepemim-pinan makin tinggi.
Teori kepemimpinan berikutnya adalah Teori
Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton,
Rensis Likert, dan Douglas McGregor. Teori ini secara umum
berpendapat, secara alamiah manusia merupakan “motivated organism”. Organisasi
memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah
memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi
motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan
dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, didalam Teori
Humanistik, terdapat tiga variabel pokok, yaitu; (1), kepemimpinan yang
sesuai dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan,
dan kemampuan-nya, (2), organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan
dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan,
dan (3), interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk
menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard,
Zigarmi, dan Drea bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah
sesuatu yang Anda lakukan terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda
lakukan bersama dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001).
Teori kepemimpinan lain, yang perlu dikemukakan
adalah Teori Perilaku Kepemimpinan. Teori ini menekankan pada apa
yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Dikemukakan, terdapat perilaku yang
membedakan pemimpin dari yang bukan pemimpin. Jika suatu penelitian berhasil
menemukan perilaku khas yang menunjukkan keberhasilan seorang pemimpin, maka
implikasinya ialah seseorang pada dasarnya dapat dididik dan dilatih untuk
menjadi seorang pemimpin yang efektif. Teori ini sekaligus menjawab pendapat,
pemimpin itu ada bukan hanya dilahirkan untuk menjadi pemimpin tetapi juga
dapat muncul sebagai hasil dari suatu proses belajar.
Selain teori-teori kepemimpinan yang telah
dikemukakan, dalam perkembangan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para
pakar maupun praktisi adalah dua pola dasar interaksi antara pemimpin dan
pengikut yaitu pola kepemimpinan transformasional dan
kepemimpinan transaksional. Kedua pola kepemimpinan tersebut, adalah
berdasarkan pendapat seorang ilmuwan di bidang politik yang bernama James
McGregor Burns (1978) dalam bukunya yang berjudul “Leadership”.
Selanjutnya Bass (1985) meneliti dan mengkaji lebih dalam
mengenai kedua pola kepemimpinan dan kemudian mengumumkan secara resmi sebagai
teori, lengkap dengan model dan pengukurannya.
B. TIPE,GAYA,DAN PERILAKU PEMIMPIN
Motivasi internal ditentukan oleh orang itu sendiri dan didasarkan atas kebutuhan dan keinginannya. Motivasi eksternal dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti gaji, kondisi kerja, kebijaksanaan perusahaan, penghargaan, kenaikan pangkat dan sebagainya. Bagaimana seorang manajer mengendalikan faktor-faktor tersebut dan memotivasi pekerja-pekerjanya menentukan seberapa jauh efektif tidaknya dia sebagai seorang pemimpin.
PENTINGNYA KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI
Kepemimpinan yang efektif harus memberikan pengarahan terhadap usaha-usaha semua pekerja dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi. Tanpa kepemimpinan atau bimbingan, hubungan antara tujuan perseorangan dan tujuan organisasi mungkin menjadi renggang (lemah). Keadaan ini menimbulkan situasi dimana perseorangan bekerja untuk mencapai tujan pribadinya, sementaa itu keselruhan organisasi menjadi tidak efisien, dalam pencapaian sasaran-sasarannya.
Oleh karena itu, kepemimpinan sangat diperlukakan bila suat organisasi ingin sukses. Jadi, organisasi perusahaan yang berhasil memiliki satu sifat umum yang menyebabkan organisasi tersebut dapat dibedakan dengan organisasi yang tidak berhasil. Sifat dan ciri umum tersebut adalah kepemimpinan yang efektif.
TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN
Latar Belakang dan Studi-Studi Klasik Kepemimpinan
Kesuksesan dan kegagalan suatu organisasi selalu dihubungkan dengan kepemimpinan, namun sebenarnya kepemimpinan itu sendiri masih merupakan suatu konsep yang sulit diterangkan atau sebuah "kotak hitam" yang sangat indah. Banyak penelitian dan studi yang telah dilakukan untuk mengungkapkannya, 3 terpenting diantaranya adalah :
1. Studi Lippit dan White
2. Studi Ohio State
3. Studi Early Michigan
Ketiga studi tersebut merupakan studi terpenting tentang kepemimpinan dalam mempelajari perilaku organisasi.
Teori Sifat Kepemimpinan
Analisis ilmiah tentang kepemimpinan mulai dengan memusatkan perhatian para pemimpin itu sendiri. Teori-teori sifat (trait theories) mengemukakan bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan dibuat. Teori ini sering disebut juga "great-man", lebuh lanjut dinyatakan bahwa seseorang itu dilahirkan dengan membawa atau tidak membawa ciri-ciri atau sifat-sifat yang diperlukan bagi seorang pemimpin, atau dengan kata lain, individu yang telah lahir telah membawa ciri-ciri tertentu yang memungkinkan dia dapat menjadi seorang pemimpin.
Kepemimpinan adalah suatu fungsi kualitas seorang individu, bukan fungsi situasi, teknologi, atau dukungan masyarakat. Hal ini mengandung pengertiaan dasar bahwa peneltitian-penelitian dasar kepemimpinan selalu condong menyatakan bahwa individu merupakan sumber kegiatan-kegiatannya.
Keith Davis mengikhtisarkan ada 4 ciri utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan dalam organisasi :
1. Kecerdasan (intellegence)
2. Kedewasaan sosial dan hubungan sosial yang luas (social maturitu and breadth)
3. Motivasi diri dan dorongan berprestasi
4. Sikap-sikap hubungan manusiawi
Teori Kelompok
Teori kelompok dalam kepemimpinan (group theory of leadership) dikembangkan atas dasar ilmu psikologi sosial. Teori ini menyatakan bahwa untuk pencapaian tujuan-tujuan kelompok harus ada pertukaran yang positif antara pemimpin dan bawahannya. Kepemimpinan itu merupakan suatu proses pertukaran antara pemimpin dan pengikutnya, yang juga melibatkan konsep sosiologi tentang peranan yang diharapkan kedua belah pihak.
Teori Situsional (Contingency)
Pendekatan sifat dan maupun kelompok terbukti tidak memadai untuk mengungkap teori kepemimpinan yang menyeluruh, perhatian dialihkan pada aspek-aspek situasional kemungkinan. Fred Fiedler telah mengajukan sebuah model dasar situasional bagi efektifitas kepemimpinan, yang dikenal sebagai contingency model of leadership effectiveness. Model ini menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan dan situasi yang menyenangkan dan menguntungkan. Situasi-situasi tersebut digambarkan oleh Fiedler dalam 3 dimensi empirik, yaitu :
1. Hubungan pimpinan anggota
2. tingkat dalam struktur tugas
3. posisi kekuasaan pemimpin yang didapatkan melalui wewenang formal
Penemuan Fiedler menunjukkan bahwa dalam situasi yang sangat menguntungkan atau sangat tidak menguntungkan, tipe pemimpin yang berorientasi pada tugas atau pekerjaan adalah sangat efektif. Tetapi bila situasi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan hanya moderat (terletak pada range tengah), tipe pemimpin hubungan manusiawi atau yang toleran dan lunak akan sangat efektif.
Teori Path-Goal
Telah diakui secara luas bahwa teori kepemimpinan dikembangkan dengan mempergunakan kerangka dasar teori motivasi. Teori Path-Goal ini menganalisa pengaruh (dampak) kepemimpinan (terutama perilaku pemimpin) terhadap motivasi bawahan, kepuasan dan pelaksanaan kerja. Teori ini memasukkan 4 tipe atau gaya pokok perilaku pemimpin, yaitu :
1. Kepemimpinan direktif. Di sini tidak ada partisipasi oleh bawahan (pemimpin yang otokratis).
2. Kepemimpinan suportif. Pemimpin yang selalu bersedia menjelaskan, sebagai teman, mudah didekati dan menunjukkan diri sebagai orang sejati bagi bawahan.
3. Kepemimpinan partisipatif. Pemimpin meminta dan menggunakan saran-saran bawahan, tetapi masih membuat keputusan.
4. Kepemimpinan orientasi-prestasi. Pemimpin mengajukan tantangan-tantangan dengan tujuan yang menarik bagi bawahan dan merangsang bawahan untuk mencapai tujuan tersebut serta melaksanakannya dengan baik.
Jadi, gaya-gaya kepemimpian ini dapat dipergunakan oleh pemimpin yang sama dalam berbagai situasi yang berbeda. Baik model Fiedler maupun teori Path-Goal memasukkan 3 variabel penting dalam kepemimpinan, yaitu : pemimpin, kelompok dan situasi.
Kepemimpinan sebagai Sistem Pengaruh
Model sistem pengaruh ini dapat memperjelas betapa kompleksnya teori kepemimpinan modern. Pemimpin mempengaruhi kelompok dan situasi. Kelompok mempengaruhi pemimpin dan situasi. Situasi mempengaruhi pemimpin dan kelompok. Jadi, tiap-tiap subsistem mempengaruhi dan dipengaruhi oleh subsistem yang lain.
GAYA-GAYA KEPEMIMPINAN
Gaya kepemimpinan adalah suatu cara pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya. Secara relatif ada 3 macam gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu otokratis, demokratis atau partisipatif, dan laissez-faire, yang semuanya pasti mempunyai kelemahan-kelemahan dan keuntungan.
Perbedaan gaya kepemimpina dalam organisasi akan mempunyai pemgaruh yang berbeda pula pada partisipasi individu dan perilaku kelompok. Kepemimpinan otokratis lebih banyak menghadapi masalah pemberian perintah kepada bawahan. kepemimpinan demokratis cenderung mengikuti pertukaran pendapat antara orang-orang yang terlibat. Dalam kepemimpinan laissez-faire, pemimpin memberikan kepemimpinannya jika diminta.
Implikasi-implikasi Gaya dari Berbagai Studi Klasik dan Teori-teori Modern
Studi Hawthorne diinteprestasikan dalam istilah-istilah gaya pengawasan, dan Teori X dari Douglas McGregor mencerminkan gaya otokratis dan Teori Y nya menunjukkan gaya kepemimpinan humanistik. Studi Ohio State mengidentifikasikan perhatian (tipe gaya suportif) dan struktur pengambilan inisiatif (tipe gaya direktif) yang menjadi fungsi-fungsi kepemimpinan utama.
Gaya-gaya Managerial Grid
Salah satu pendekatan yang sangat populer untuk mengidentifikasikan berbagai gaya kepemimpinan para manajer praktisi adalah penggunaan "managerial grid" yang dikemukakan oleh Robert R. Blake dan Jane S. Mouton.
Model Tiga Dimensional Reddin
Jaringan Blake dam Mouton mengidentifikasikan gaya seorang manajer, tetapi tidak secara langsung berkaitan dengan efektifitas. William J. Reddin, telah menambahkan dimensi ketiga atau efektifitas pada modelnya. Di samping memasukkan dimensi efektifitasnya, dia juga mempertimbangkan damapak situasional pada gaya yangs sesuai. Hal penting yang dikemukakan Reddin adalah bahwa setiap gaya tersebut dapat efektif atau tidak efektif tergantung pada situasi.
Gaya-gaya Efektif
1. Eksekutif (execuitive). Gaya ini memberikan perhatian besar baik terhadap tugas maupun karyawan.2. Pembangun (developer). Gaya ini memberikan perhatian maksimum terhadap karyawan dan minimum terhadap tugas.
3. Otokrat penuh kebajikan (benevolent autokrat). Gaya ini memberikan perhatian maksimum pada tugas dan minimum pada karyawan.
4. Birokrat (bureaucrat). Gaya ini memberikan perhatian minimun baik pada tugas maupun karyawan.
Gaya-gaya Tidak Efektif
1. Kompromis (compromiser). Gaya ini memberikan prhatian besar baik tehadap tugas maupun karyawan dalam suatu situasi yang hanya memerlukan penekanan pada salah satunya.2. Misionaris (missionary). Gaya ini memberikan perhatian maksimum terhadap karyawan dan perhatian minimum terhadap tugas dimana perilaku tersebut tidak cocok.
3. Otokrat (autocrat). Gaya ini memberikan perhatian maksimum terhadap tugas dan perhatian minimum terhadap karyawan dimana perilaku seperti itu tidak tepat.
4. Pelarian (deserter). Gaya ini memberikan perhatian minimum terhadap tugas dan karyawan dalam suatu situasi dimana perilaku seperti itu tidak sesuai.
Empat Sistem Manajemen Likert
1. Sistem 1 : Otokratik Eksploatif. Manajer mengambil semua keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan dan memrintahkan dan biasanya mengeksploitasi bawahan untuk melaksanakannya.2. Sistem 2 : Otokratik penuh kebajikan. Manajer tetap menentukan perintah-perintah kerja, tetapi bawahan diberi keleluasaan (fleksibiltas dalam pelaksanaannya dengan suatu cara paternalistik.
3. Sistem 3 : Partisipatif. Manajer menggunakan gaya konsultatif. Manajer ini meminta dan menerima partisipatif dari bawahan tetapi menahan hak untuk membuat keputusan final.
4. Sistem 4 : Demokratik. Manajer memberikan berbagai pengarahan kepada bawahan tetapi memberikan kesempatan partisipasi total dan keputusan dibuat atas dasar konsesus dan prinsip mayoritas.
Kebutuhan Fleksibilitas Gaya Kepemimpinan
Manajer dapat mulai dengan memperkirakan sistem nilai dirinya dan menentukan gaya kepemimpinan umum yang dirasa cocok. Kemudian, dia menentukan dimana gaya kepemimpinan yang paling sesuai dan dimana hal ini akan membutuhakn perubahan agar lebih efektif. Setelah dia mencapai hal ini, dia membutuhkan praktek untuk melengkapi proses pendekatam fleksibel ini.
Pengertian Kepemimpinan :
Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang
sama "pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.
Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan "pemimpin".
Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan. (Kartini Kartono, 1994 : 181).
Dari pengertian diatas kepemimpinan mengandung
beberapa unsur pokok antara lain:
1) kepemimpinan melibatkan orang lain dan adanya situasi kelompok atau organisasi tempat pemimpin dan anggotanya berinteraksi.
2) di dalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuasaan dan proses mempengaruhi bawahan oleh pemimpin.
3) adanya tujuan bersama yang harus dicapai.
Gaya Perilaku Pemimpin
1. Gaya Kepemimpinan Otoriter / Authoritarian
Adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan
dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Segala pembagian
tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si pemimpin yang otoriter tersebut,
sedangkan para bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan.
2. Gaya Kepemimpinan Demokratis / Democratic
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang
memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan
selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya
kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas
serta tanggung jawab para bawahannya.
3. Gaya Kepemimpinan Bebas / Laissez Faire
Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang
kecil di mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan
penyelesaian masalah yang dihadapi.
Empat gaya kepemimpinan berdasarkan kepribadian adalah
:
1. Gaya Kepemimpinan Karismatis
2. Gaya Kepemimpinan Diplomatis
3. Gaya Kepemimpinan Otoriter
4. Gaya Kepemimpinan Moralis
Gaya Kepemimpinan Karismatis
Kelebihan gaya kepemimpinan karismatis ini adalah
mampu menarik orang. Mereka terpesona dengan cara berbicaranya yang
membangkitkan semangat. Biasanya pemimpin dengan gaya kepribadian ini
visionaris. Mereka sangat menyenangi perubahan dan tantangan.
Mungkin, kelemahan terbesar tipe kepemimpinan model
ini bisa di analogikan dengan peribahasa Tong Kosong Nyaring Bunyinya. Mereka
mampu menarik orang untuk datang kepada mereka. Setelah beberapa lama, orang –
orang yang datang ini akan kecewa karena ketidak-konsisten-an. Apa yang
diucapkan ternyata tidak dilakukan. Ketika diminta pertanggungjawabannya, si
pemimpin akan memberikan alasan, permintaan maaf, dan janji.
Gaya Kepemimpinan Diplomatis
Kelebihan gaya kepemimpinan diplomatis ini ada di
penempatan perspektifnya. Banyak orang seringkali melihat dari satu sisi, yaitu
sisi keuntungan dirinya. Sisanya, melihat dari sisi keuntungan lawannya. Hanya
pemimpin dengan kepribadian putih ini yang bisa melihat kedua sisi, dengan
jelas! Apa yang menguntungkan dirinya, dan juga menguntungkan lawannya.
Kesabaran dan kepasifan adalah kelemahan pemimpin
dengan gaya diplomatis ini. Umumnya, mereka sangat sabar dan sanggup menerima
tekanan. Namun kesabarannya ini bisa sangat keterlaluan. Mereka bisa menerima
perlakuan yang tidak menyengangkan tersebut, tetapi pengikut-pengikutnya tidak.
Dan seringkali hal inilah yang membuat para pengikutnya meninggalkan si
pemimpin.
Gaya Kepemimpinan Otoriter
Kelebihan model kepemimpinan otoriter ini ada di
pencapaian prestasinya. Tidak ada satupun tembok yang mampu menghalangi langkah
pemimpin ini. Ketika dia memutuskan suatu tujuan, itu adalah harga mati, tidak
ada alasan, yang ada adalah hasil. Langkah – langkahnya penuh perhitungan dan
sistematis.
Dingin dan sedikit kejam adalah kelemahan pemimpin
dengan kepribadian merah ini. Mereka sangat mementingkan tujuan sehingga tidak
pernah peduli dengan cara. Makan atau dimakan adalah prinsip hidupnya.
Gaya Kepemimpinan Moralis
Kelebihan dari gaya kepemimpinan seperti ini adalah
umumnya Mereka hangat dan sopan kepada semua orang. Mereka memiliki empati yang
tinggi terhadap permasalahan para bawahannya, juga sabar, murah hati Segala
bentuk kebajikan ada dalam diri pemimpin ini. Orang – orang yang datang karena
kehangatannya terlepas dari segala kekurangannya.
Kelemahan dari pemimpinan seperti ini adalah emosinya.
Rata orang seperti ini sangat tidak stabil, kadang bisa tampak sedih dan
mengerikan, kadang pula bisa sangat menyenangkan dan bersahabat.
0 Komentar untuk " PENGERTIAN KEPEMIMPINAN & PERKEMBANGAN TEORI KEPEMIMPINAN"